Sumbawa – Sabtu, pagi hari
“Tuttt… tuttt…”
Suara dari ponsel itu membuyarkan lamunanku.
Kuhentikan kegiatan yang sedang kulakukan dan dengan segera kuraih ponsel itu. Ada
apa mereka menelepon dipagi hari seperti ini, batinku. Namun tetap kuangkat panggilan
itu, dan terdengar suara dari seberang sana,
“Halo, bu Dokter?” Sahut suara itu.
“Oh, ada apa?”
“Saya hanya ingin memberitahukan, bahwa kami
mengadakan anggaran sebesar lima ratus ribu rupiah, untuk sebuah lemari.
Uangnya akan saya transfer, dan bu Dokter dapat meminta tambahan anggaran
apabila diperlukan. Setelah membeli, tolong perlihatkan bukti pembelian lemari
tersebut.”
Dan, aku mengernyitkan dahi. Lemari? Sepengetahuanku,
aku tidak membutuhkan lemari dan tidak memesan sebuah lemari. Kuberitahukan
bahwa aku tidak membutuhkan lemari, namun mereka bersikeras. Akhirnya kuterima
permintaan mereka dengan sedikit keengganan.
“Oke, tolong ya bu Dokter, terima kasih atas
perhatiannya.”
Dan pembicaraan itu pun berakhir dengan sejuta
pertanyaan yang timbul didalam pikiranku. Aku memang tidak membutuhkan lemari,
sebab sudah banyak lemari yang ada di rumahku. Rumah sakit pun tidak meminta
penyediaan sebuah lemari, lalu mengapa tanpa sebab mereka menawari sebuah
lemari?
Tak ingin pekerjaanku telantar karena hal yang belum
bisa terjawab tersebut, akhirnya kulanjutkan pekerjaanku yang sempat tertunda
tadi, sambil sesekali memikirkan alasan yang kira-kira masuk akal. Namun sampai
aku pulang pun, aku tetap tak menemukan alasannya.
Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam ketika aku
menekan nomor saudara perempuanku di ponsel. Yah, memang sudah menjadi
kebiasaanku meneleponnya untuk menceritakan apa yang terjadi selama beberapa
hari ini, menceritakan apa saja yang kulakukan dan meminta pendapatnya dalam
berbagai hal. Kutunggu hingga terdengar suara dari seberang sana,
“Halo?”
Tak lama kemudian aku sudah larut dengan pembicaraan
berbagai topik dengannya. Waktu tak terasa sudah menunjukkan pukul sebelas
malam ketika kulirik jam di meja belajarku. Berbagai hal sudah kuceritakan
padanya. Tentang pekerjaanku disini, tentang seluk beluk kejadian, dan
lain-lain. Spontan, aku teringat tentang kedua anaknya yang ada disana, yang
tentunya merupakan keponakanku. Aku pun bertanya kepadanya,
“Ce,
bagaimana kabar dua anak itu?” Sahutku.
“Ya, baik-baik saja. Belum ada yang tidur, sih, mereka
masih nonton… Eh, ada apa, Ko?
Keheranan, aku mencoba mendengar suaranya yang
sayup-sayup di seberang sana. Tidak jelas apa yang mereka bicarakan, aku tak
bisa mendengarnya. Akhirnya ketika saudaraku kembali, aku bertanya apa yang
tadi ia bicarakan.
“Ah, tidak, tadi Koko
ada bilang ……..”
Dan, disaat itu juga aku terdiam mendengar jawabannya.
Perlahan, didalam hati, aku tersenyum…
Surabaya – Sabtu, malam hari
Cuaca sangat panas malam ini, keluhku. Sambil mengipas-ngipas,
aku naik hendak menuju ke kamar. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam
ketika aku naik. Sesampainya diatas, aku sudah akan menuju ke kamar ketika
sekilas kulihat koleksi buku yang ada di depanku.
Berantakan sekali, batinku. Karena aku merasa tidak
tenang bila tidak membereskan bukuku, aku tidak jadi menuju ke kamar dan malah
duduk didepan meja belajarku untuk mengatur ulang buku-buku disana. Perlu
kalian ketahui bahwa aku memang senang membaca, dan buku-buku ini merupakan
koleksiku sejak kecil. Aku sangat beruntung karena tanteku memiliki hobi yang
sama denganku, jadi ketika ia berkunjung kesini, kami dapat pergi ke toko buku
bersama dan membeli setumpuk buku. Ah, coba ia ada disini, ya…
Kutatap lemari meja belajarku didepanku, sambil
sedikit mengernyitkan dahi. Masih ada setumpuk novel disampingku yang menunggu
untuk diletakkan, namun sudah tak ada tempat di lemariku. Mengapa setelah
diatur jadi tidak cukup ya, batinku. Akhirnya karena tidak ada tempat lagi,
kujejelkan setumpuk buku itu disela-sela yang memungkinkan tanpa merusak buku
itu.
Sambil menghela napas karena akhirnya pekerjaan itu
selesai, aku segera bangkit dan menuju ke kamar ibuku. Kulihat ia sedang
menelepon seseorang, kutebak itu adalah tanteku yang kuceritakan tadi. Tanpa
mengindahkan bahwa ia sedang menelepon, kuutarakan keinginanku padanya.
“Ma, sepertinya aku butuh sesuatu, deh” sahutku.
“Butuh apa, Ko?”
“Sepertinya aku butuh lemari, udah nggak cukup buat meletakkan buku”
Dia hanya tersenyum, mungkin karena memang
konsentrasinya tidak ada padaku. Kudengar ia menceritakan keinginanku pada
tanteku, dan disaat itu kulihat ia melongo keheranan.
“Hah, yang benar?” sahutnya menyiratkan rasa tidak
percaya.
Disaat itulah, ibuku kembali memandangku dengan senyum
terukir diwajahnya.
“Lemarimu sudah ada, Ko. Lihat, tantemu tadi ditawari lemari.”
. . . .
Suatu kebetulan?
Bisakah kalian membayangkan, bahwa lemari yang
ditawarkan kepada wanita tersebut dipagi hari, ternyata merupakan jawaban dari
keinginan keponakannya yang baru diutarakan pada malam hari?
Tidakkah kalian berpikir, mengapa waktunya sangat
tepat? Mengapa tiba-tiba anak itu berkehendak mengatur lemarinya, sehingga
muncul suatu keinginan memiliki lemari baru? Mengapa bisa anak itu mengutarakan
keinginannya ketika ibunya sedang menelepon dengan tantenya? Mengapa, mengapa,
mengapa?
Mungkin begitu banyak hal yang kalian pikirkan ketika
mendengar cerita tersebut. Mungkin banyak yang berpendapat bahwa itu suatu
kebetulan yang sangat tepat, namun kembali lagi aku belajar disini bahwa tidak
ada yang kebetulan. Hanya ada satu jawaban dari semua pertanyaan itu, bahwa itu
semua adalah rencana dan mujizat Tuhan.
So, satu hal yang akan kubagikan pada saat ini
adalah, Tuhan sudah mengetahui setiap keinginanmu, setiap kerinduanmu, bahkan
sebelum hal itu muncul dalam lubuk hatimu. Ia sudah menyediakan semua keinginan
dan kerinduanmu, asalkan dirimu mau percaya dan berharap kepada-Nya. Seperti
anak diatas, Tuhan sudah menyediakan uang yang dibutuhkan untuk membeli lemari
pada pagi hari, ketika justru keinginannya baru timbul dimalam hari. Ketika
doamu mungkin belum terkabul, teruslah berharap dan percaya, sebab Tuhan sudah
menyediakannya untukmu, tinggal apakah kamu terus setia meminta didalam-Nya (:
No comments:
Post a Comment