Thursday, April 23, 2015

Arti sebuah Ketenangan



Pagi yang cerah, dikala mentari memancarkan sinarnya yang hangat ke segala penjuru Bumi, dari apartemen Puncak Marina inilah cerita bermula..

Ma, bagaimana persiapannya ? Romie sudah tidak sabar nih, mau berjalan-jalan,” sahut salah seorang lelaki yang tak lain dan tak bukan adalah suamiku. Aku adalah seorang ibu rumah tangga, yang sudah menjalani kehidupan pernikahan hampir tiga tahun, dan dikaruniai seorang anak laki-laki yang berusia hampir dua tahun bernama Romie. Aku, suamiku, dan anakku tinggal bersama disebuah apartemen yang cukup dikenal didaerah Surabaya. Kami menjalani hari-hari dengan bahagia, dengan setumpuk rutinitas yang harus kami jalani, namun tak kami sangka bahwa hari ini akan menjadi berbeda dari hari biasanya.. 



Memang sudah menjadi kebiasaan bagi kami untuk menyempatkan waktu mengajak anak kami berjalan-jalan. Selain menyegarkan pikiran, kami pun juga menggunakan waktu ini untuk semakin mengenalkan dunia luar pada Romie.

Tak lama kemudian, suara suamiku kembali terdengar, 

Ma, Papa tunggu dibawah ya, sekaligus mau memanaskan mobil. Papa juga mau ajak Romie, soalnya dia udah nggak sabar, nih”. Dan aku pun mengiyakan, sambil masih mengemasi barang-barang yang akan kami bawa. Maklum, ketika anak masih dalam usia balita tentu banyak bawaan yang harus dipersiapkan, seperti popok, susu, botol, dan berbagai macam lainnya. Aku pun berkata kepada suamiku, “Nanti Mama tunggu di lobby ya”, dan suamiku pun turun untuk memanaskan mobil. 

Keadaan baik-baik saja, hingga beberapa menit berlalu. Aku sudah bersiap turun, namun suara telepon Interkom menghentikan langkahku. Aku pun mengangkatnya, dan detik itu juga darahku langsung membeku mendengar suara dari Interkom itu..

. . . . 

Sementara itu…
Perlahan aku menekan tombol menuju lantai dasar, sambil menggendong anakku. Lift turun dengan perlahan, dan bunyi ‘ting’ menandakan kami sudah sampai di lantai dasar. Pintu lift terbuka, dan aku keluar menuju mobil yang akan kami gunakan. Kubuka pintu mobilnya, kutancapkan kunci dan kuputar sehingga perlahan suara mesin mobil terdengar.

“Nak, kamu didalam dulu, ya. Papa mau memeriksa mesin mobilnya dulu. Duduk disini dulu,ya”
Sambil mendudukkan Romie di kursi pengemudi, aku keluar dan membuka kap mobil untuk memeriksa mesinnya. Selama ini, Romie selalu menurut ketika kusuruh begitu. Ia akan bermain-main dengan setir mobilnya, dan berdiri di kursi pengemudi sambil tertawa bahagia, karena akan diajak jalan-jalan. Dan begitu pula hari ini, sehingga tak ada prasangka apa-apa.

Aku sedang asyik memeriksa mesin mobil tersebut, dan tiba-tiba terdengarlah suara yang membuat jantungku berhenti berdetak selama sejenak..

‘ceklik’

DEG ! Jantungku langsung berhenti berdetak selama sesaat. Tidak, jangan sampai firasat burukku terjadi, tidak, tidak, batinku panik. Namun ternyata, keberuntungan tak berpihak kepadaku. Ketika aku melihat dari kaca mobil, terbuktilah bahwa firasat burukku menjadi kenyataan, kenyataan yang membuat darahku membeku..

Anakku terkunci dalam mobil !

Aku tidak mengerti bagaimana caranya, namun kuduga bahwa Romie mengutak-atik tombol otomatis di samping pengemudi yang berfungsi untuk mengunci mobil. Celakanya, kunci mobil ada didalam karena mesin dalam keadaan menyala, membuat anakku benar-benar, sekali lagi benar-benar, terkunci tanpa ada cara untuk membukanya saat itu. Kepanikan segera melandaku tanpa ampun, membuatku gusar setengah mati. Romie hanya bisa memandang dari dalam, dan, tidak,  dia mulai menangis. Mungkin ini akibat aku yang terlihat gusar dan panik, membuatnya merasakan apa yang kurasakan, sehingga ia mulai menangis. Aku segera berpikir ditengah kepanikan yang melandaku, ditengah suara tangisan Romie yang menyayat hatiku perlahan-lahan..

Bagaimana kalau aku naik ke lantai tempat apartemenku berada ? Aku bisa mengambil kunci cadangan dan membuka dari luar. Namun, segera kutepis solusi itu. Naik dengan lift membutuhkan waktu, dan Romie tak bisa menunggu selama itu. Akhirnya, satu ide muncul di kepalaku. Dengan cepat, aku berlari melewati parkiran mobil itu, menuju receptionist yang ada didalam, dan meminta pegawai disana untuk menghubungi apartemenku. Segera setelah terhubung, aku langsung berbicara dengan istriku,

“Ma, tolong carikan kunci cadangan ! Romie terkunci didalam mobil !”
. . . .

Tepat, suara dari interkom itulah yang membuat darahku membeku..

Tidak mungkin ini terjadi. Bagaimana bisa Romie terkunci didalam mobil ? Apa yang suamiku lakukan ? Sesegera mungkin, aku langsung membanting interkom itu dan mencari kunci cadangan itu. Aku mencari di tiap lemari, namun pikiranku yang kalut membuatku tak bisa menemukan benda itu. Dimana, dimana, dimana kunci itu, batinku sambil terus berharap agar benda itu segera kutemukan. Namun sekeras apapun aku mencari, tetap saja benda kecil itu seperti hilang ditelan angin. Pikiranku yang panik pada saat itu, membuatku sampai pada sebuah ide gila, 

“Pecahkan saja kacanya ! Tidak peduli apapun, yang penting anakku selamat !”

Ide itu semakin menguat tiap kali aku terus mencari di rak dan lemari. Menit demi menit berlalu, peluh bercucuran dikeningku. Namun ternyata, Tuhan berpihak kepadaku. Setelah sekian lama mencari, akhirnya kutemukan kunci cadangan itu. Secepat mungkin aku turun, sambil terus berdoa agar anakku baik-baik saja. Pintu lift terbuka, dan aku segera menghambur keluar menuju parkiran, hanya untuk melihat pemandangan yang membuatku tak mampu berkata-kata..

Apa ? Bagaimana bisa ?

Pertanyaan itulah yang terlintas dibenakku ketika melihatnya. Romie sudah berada dalam gendongan suamiku, wajahnya polos dan tenang, seolah kejadian menegangkan barusan tidak pernah terjadi sama sekali. 

Bagaimana bisa Romie keluar ?

. . . .

Beberapa menit sebelumnya..

Segera setelah aku menelepon istriku lewat Interkom, aku pun berlari kembali ke anakku yang masih menangis karena terkunci didalam mobil. Dan ditengah kepanikan itu, sebuah suara seolah berbisik didalam hatiku, “Kepanikan tak akan menyelesaikan masalah.”

Perlahan, ketenanganku kembali, dan aku berusaha untuk menenangkan Romie yang ada didalam mobil itu. Pelan, namun pasti, melihat ayahnya yang sudah tenang, ia pun ikut tenang sehingga perlahan suara tangisannya mereda dan ia hanya memandangiku dengan sorot mata penuh tanya. 

Dengan lembut, kutuntun Romie untuk membuka kunci otomatis tersebut. Kutunjuk tombol disamping kaca itu, dan berkata, “Nak, lihat itu. Ya, bagus nak, sekarang tarik keluar seperti ini.” Kutuntun perlahan sambil aku memeragakan cara untuk membuka kunci itu. Terus kuulangi gerakan itu, hingga Romie mengerti apa yang kukatakan dan menirukan gerakanku.

‘ceklik’

YES ! Romie berhasil membuka pintu itu ! Dengan segera kubuka pintu itu, dan kupeluk dia dengan erat, melepaskan segala ketegangan yang terjadi selama beberapa menit ini..

. . . .

Dan cerita yang kudengar dari suamiku sungguh membuatku lega setengah mati. Perlahan kusadari bahwa tentu masalah akan datang dalam kehidupan, dan penyelesaian dari masalah tersebut tergantung dari bagaimana kita menyikapinya. Mungkin ketika suamiku tidak sabar, bisa saja ia tidak berpikir panjang dan memecahkan kaca mobil, seperti yang kupikirkan tadi. Bukan tidak mungkin berbagai masalah lain akan timbul, seperti Romie yang akan terluka karena pecahan kaca, maupun perbaikan mobil karena kaca nya yang pecah.

Namun, ia berhasil menguasai dirinya dari kepanikan, dan menyelesaikan masalah tersebut. Sambil kupandangi mereka berdua, aku hanya tersenyum, bersyukur karena dipagi hari inilah aku mendapatkan pelajaran yang sangat berharga tentang penguasaan diri…

No comments:

Post a Comment