“Sesuai peraturan tak tertulis yang
menyatakan harus memikirkan sesuatu yang baru di penghujung tahun, demikian aku
pun mencoba melakukannya. Bukan demi mendapat atensi, namun lebih kepada
refleksi.”
. . .
Tak
terasa, perjalanan 2017 sudah hampir berakhir. Begitu banyak lika-liku yang
sudah dialami sepanjang tahun. Terik
kebahagiaan, hujan kesedihan, bahkan tak pelak awan kejenuhan datang mewarnai
perjalanan 2017 ini. Tak apa, memang begitulah adanya. Tanpa adanya terik dan
hujan, bukankah tunas tak akan bermunculan, dan bunga tak akan bermekaran?
Setelah
sekian lama jiwa Pujangga ini tertidur dan digantikan oleh peran lainnya
(Mahasiswa lah, Anggota Divisi Acara lah, Anggota Legislatif Fakultas lah, peran apapun yang bisa kalian
temukan dan sebutkan dalam kehidupanku sehari-hari), sepertinya sudah saatnya
dia bangun dan meregangkan otot-ototnya. Setelah sekian lama peran lainnya
mengambil alih kendali dalam berpikir dan merasa, sudah saatnya Pujangga ini
ambil alih dalam renung dan refleksi. Bukan apa, Chamber of Imagination ini sepertinya sudah lama berdebu karena tak
disapu #ehe.
Sesuai peraturan
tak tertulis yang menyatakan harus memikirkan sesuatu yang baru di penghujung
tahun, demikian aku pun mencoba melakukannya. Bukan demi mendapat atensi, namun
lebih kepada refleksi. Karena sejatinya, Chamber
of Imagination hadir sebagai muara bagi aliran pikiran yang terbendung
dalam kepala ini, sekaligus menjadi refleksi pribadi akan segala hal yang telah
terjadi. Berangkat dari situlah, satu hari tercetus ide untuk membuat suatu
seri cerita. Seri yang merangkum perspektifku terhadap realita yang selama ini aku
hadapi. Seri yang kuberi konsep dengan judul,
IMAGINARY REALITY
im·ag·i·nar·y
/iˈmajəˌnerē/
adjective;
existing only in the imagination.
re·al·i·ty
rēˈalədē/
noun; the world or the state of things as they
actually exist, as opposed to an idealistic or notional idea of them.
Apa ini adalah sebuah cerita
bersambung? Bukan. Karena Imaginary
Reality kucetuskan untuk mendasari pemikiranku atas apa yang aku alami.
Atas apa yang aku lihat, dengar, dan rasakan. Mungkin lebih baik kujelaskan
lewat perumpamaan. Begitu banyak perumpamaan yang lazim digunakan, tapi izinkan
aku menggunakan perumpamaan anak kecil di taman bermain untuk mewakili konsep
ini. Seperti anak kecil yang bermain di sebuah taman bernama realita,
biarkanlah tulisanku ke depannya bisa membawamu ke sudut-sudut realita yang tak
terduga. Entah membawamu dalam realita yang saking ajaibnya jadi terasa
imajiner, atau justru malah membuatmu melayang dalam imajinasi berbungkus
realita. Entah membuatmu mengangguk-angguk karena telah menjelajah sudut
perspektif itu sebelumnya, atau justru malah membuatmu mengernyitkan dahi
karena itu sudut taman yang asing bagimu. Apapun itu, jangan biarkan
penjelasanku mengekang kebebasan yang ada dalam pikiranmu. Karena dari sinilah,
aku berharap bisa membukakan ruang imajiner dalam realita yang terbatas.
Kemanapun anak kecil ini pergi
menjelajah melalui deretan kata, biarlah seri Imaginary Reality ini bisa menjadi refleksi. Cermin buatku, cermin
bagimu, dan cerminan realita melalui perspektif seorang (yang ngaku-ngaku) Pujangga.
Selamat menyongsong lika-liku 2018
Selamat berpetualang di taman Realita
Selamat menikmati.
Salam,
Dari seorang (yang ngaku-ngaku) Pujangga.
(Namanya juga berimajinasi ya, kan)
No comments:
Post a Comment