Tuesday, December 26, 2017

#ImaginaryReality : FRIENDS OR FOOD

“Yang pasti, jangan pernah salah menempatkan posisi mereka dalam meja pertemanan. Nikmatilah Appetizer sebagaimana layaknya Appetizer dinikmati. Nikmatilah Main Course sebagaimana layaknya Main Course dinikmati. Karena, akan selalu ada yang kurang bila kamu menempatkan Dessert untuk Main Course-mu,”


. . .

Bulan Desember

Entah sudah berapa puluh kali Jeni mengedarkan pandangan pada tiga hal yang berulang. Teman-temannya yang sedang asyik bercengkerama, makanan yang ada di hadapannya, serta pemandangan restoran yang menghadap langsung pada jalanan Surabaya malam itu. Kelap-kelip lampu terlihat temaram dan kabur, dibiaskan butiran hujan yang turun membasahi Bumi.

Entah dinginnya hawa yang lebih kuat, ataukah hangatnya temaram restoran ini tak mampu menulari esensi kebersamaan yang kurasakan, batin Jeni. Ia memandang makanan yang ada di hadapannya, dan mengalihkan pandangannya pada teman-temannya. Meski mereka menikmati makanan mereka dan sesekali bercengkerama, ada yang kurang bagi Jeni. Seharusnya ini menjadi malam yang hangat bagi kita semua, termasuk aku, renung Jeni. Tapi mengapa? Mengapa aku tak mampu merasakan kehangatan itu? Ataukah, ada yang salah dari diriku, sehingga aku tak mampu meresapi apa yang mereka nikmati sekarang?

Belum selesai lamunannya, ia dikejutkan oleh panggilan namanya. “Jen! Jen! Sebentar lagi aku mau upload, nih, jangan lupa senyum dan bilang ‘Merry Christmas’, ya!” sahut salah seorang temannya. Tak lama, ia mulai mengedarkan ponselnya, tak henti berkata ‘hai’ hingga ia merasa yakin semua temannya sudah masuk. Belum selesai satu, terdengar suara lain menyahut, “Eh, tunggu! Giliranku! Jangan lupa kelihatan asyik, ya, teman-teman!” dan kegiatan mengedarkan ponsel itu pun berlangsung kembali. Jeni hanya menanggapi semua itu dengan senyum tipis, meski pikirannya tak bisa berhenti berkecamuk.

Ada yang hilang, batin Jeni pelan.

. . .

Jeni menghempaskan dirinya ke atas ranjang. Tatapannya kosong memandang langit-langit kamar yang bermandikan cahaya temaram Bulan. Ia mengambil Sushi, boneka paus kesayangannya, dan mendekapnya erat. “Sushi, ada yang salah dengan kebersamaan yang kurasakan tadi,” gumamnya. “Entah kenapa, meski tadi terasa menyenangkan, namun seperti ada yang hilang. Atau, aku saja yang terlalu sensitif, ya Shi?” lanjut Jeni sambil menatap mata Sushi yang bulat.

“Setidaknya, malam ini aku jadi mendapat satu pencerahan, Shi,” Jeni bangkit terduduk di ranjangnya. “Melihat makanan yang disajikan di restoran tadi, aku jadi menghubungkan itu dengan apa yang kuamati atas teman-temanku,” katanya.

“Kebanyakan, teman akan datang seperti Appetizer. Hal itulah yang sering aku amati di rekan kerjaku, Shi. Mereka ringan, karena mereka hanya datang untuk mengawali sebuah hubungan, namun tak berlanjut ke pertemanan yang lebih dalam,” ia menatap kosong ke arah jendela. “Pekerjaan, tak lebih. Hal itulah yang membuat mereka terasa seperti Appetizer,” sahut Jeni sambil mendekap bonekanya.

Ia berpikir sebentar sebelum melanjutkan, “Tapi, ketika pertemanan sudah lebih dari sekadar pekerjaan dan mulai masuk ke ranah personal, kamu akan melihat bahwa Main Course sudah mulai disajikan. Tidak lagi soal pekerjaan dan tanggung jawab, namun lebih kepada kisah hidup sehari-hari. Kepada pengalaman. Cita-cita. Bahkan, mimpi dan masa depan,” gumamnya pelan sambil memandang Sushi, yang balas memandangnya dengan diam.

“Bukankah seharusnya pertemanan seperti itu, Shi? Ketika kamu bisa membagikan nilai kehidupanmu kepada orang lain, bahkan saling mendorong dan mendukung? Bukankah?” Tanya Jeni, entah kepada Sushi, atau lebih kepada dirinya sendiri.

Ia mengangkat bahu. “Dan, tak jarang, kamu akan melihat teman yang datang dalam balutan manisnya Dessert. Membuatmu jadi lebih terbuka akan nikmatnya kehidupan, dan mengecap manisnya pertemanan,” lanjut Jeni akhirnya. “Bukan lagi kisah dan cerita, namun lebih kepada bagaimana kita menghabiskan waktu ini dengan sesuatu yang menyenangkan. Ringan, manis, namun tidak untuk dinikmati sebagai Main Course,” sahutnya pelan. Mendadak, matanya berbinar.

Eh. Benar! Itu dia, Shi!” pekik Jeni tertahan. Ada satu pencerahan yang muncul dalam pikirannya.

“Kadang, kita menemukan mereka yang mampu memberikan tiga cita rasa tersebut, entah sebagai Appetizer, Main Course, bahkan Dessert dalam kehidupan pertemanan kita. Itulah yang sering kita gadang-gadang sebagai inner circle dalam kehidupan kita. Namun tak jarang, peran itu terpisah, tergantung dengan siapa kita berhubungan. Tapi, ini dia, Shi,” serunya tertahan, seakan hendak memberitahukan rahasia besar.

 “Yang pasti, jangan pernah salah menempatkan posisi mereka dalam meja pertemanan. Nikmatilah Appetizer sebagaimana layaknya Appetizer dinikmati. Nikmatilah Main Course sebagaimana layaknya Main Course dinikmati. Karena, akan selalu ada yang kurang bila kamu menempatkan Dessert untuk Main Course-mu,” lanjut Jeni panjang lebar sambil memandang Sushi lekat-lekat. Ia terdiam cukup lama, sebelum akhirnya kembali melanjutkan. “Dan, entahlah,” Jeni menghela napas, sambil pikirannya melayang kembali ke restoran tadi. “Terkadang, meski kita sudah menempatkan mereka dalam posisi yang tepat, cita rasa yang muncul pun tak sesuai harapan,” desahnya.

“Tapi, ingat ya, Shi. Sekalipun cita rasa itu tak sesuai dengan harapan, let it be. Karena terkadang, tak semua makanan cocok untuk dinikmati dalam meja pertemanan. Just, let it be,” tunjuknya pada bonekanya, yang hanya terdiam bisu mendengarnya.

Jeni terhempas kembali ke ranjangnya. Tidak. Tidak ada yang salah, tidak ada yang hilang, batinnya kini. Hanya saja, mungkin aku salah berharap. Salah menempatkan. Jeni mengambil ponselnya, dan menatap kembali rekaman yang dilakukannya bersama teman-temannya tadi. Tak lama memang. Hanya 15 detik, tak lebih. Namun seakan, tak perlu pengakuan lebih lama untuk membuktikan bahwa mereka sangat menikmati kebersamaan itu. Ia tersenyum. Ia tahu kini. Entah siapa yang menikmati dessert itu. Karena bahkan, sepertinya akan lebih nikmat bila kita tak mencicipinya, batin Jeni pelan.

Benar, lanjut Jeni dalam hening. Karena terkadang, tak semua makanan cocok untuk dinikmati dalam meja pertemanan. Just, let it be.

No comments:

Post a Comment