/1/
Suasana
kafe kala itu terlihat lengang. Tak banyak kegiatan terlihat di ruang monokrom
berlapis kaca ini. Aku memerhatikan sekeliling sambil membersihkan gelas-gelas
kopi. Hanya ada segelintir pengunjung yang datang dan bercengkerama. Dan kamu.
Kamu yang tak pernah sekalipun absen melewati penghujung hari di pojok ruang
ini. Ditemani segelas Americano,
langit sore selalu kau selami dengan tatapanmu yang dalam. Di kala alpanya
kesibukanku sebagai barista,
pandanganku tak pernah lepas memerhatikanmu. Kau yang selalu duduk menyilangkan
kaki dan berpangku tangan, berlatar pemandangan kota dan langit senja itu.
Meski ragaku terpaku di belakang bar ini, pikiranku tak pernah bisa diam di
tempat. Berimajinasi, berasumsi, bertanya-tanya. Entah mana yang lebih indah, semburat
merah langit senja atau sosokmu yang diam layaknya sore yang sederhana.
Dan aku tersenyum. Senjaku tak akan
pernah lengkap tanpa hadirmu.
/2/
Kursi di
depanmu pun tak lagi kosong. Di satu senja yang cerah dengan semburat merah
kekuningan, kalian datang bagai sepasang insan yang sedang memadu kasih. “Dua Americano, tolong,” sahutmu tersenyum.
Tak lama, kalian langsung menuju pojok ruang itu, tempatmu biasa duduk. Hening
tak lagi menjadi temanmu, berganti menjadi canda tawa dan kisah-kisah yang
dilontarkannya. Begitupun hari-hari selanjutnya. Entah berapa ratus kali senyum
itu hadir di wajahmu, atau berapa puluh kali tawa itu mewarnai ekspresimu. Sore
itu, aku bagai saksi akan satu siklus kehidupan manusia yang fana ini. Ketika
kamu bisa larut dalam satu kebahagiaan yang menjelma sosok di hadapanmu. Entah
mana yang lebih indah, semburat merah kekuningan langit senja atau selukis
senyum di wajahmu yang merona.
Karena bagiku, kau adalah senja yang
kupuja. Biarlah aku menyaksikan keindahanmu dari kejauhan, tak memiliki,
ataupun dimiliki. Senja adalah senja, sebagaimana adanya.
/3/
Sudah
bulan Desember. Desember yang kelabu, pikirku. Sore itu, merah berganti
abu-abu. Sejauh mata memandang, lanskap kota terlihat samar keabuan, dibiaskan
oleh butir hujan yang terpercik di dinding kaca. Langit menumpahkan
kesedihannya dalam dekapan Bumi, membasahi Bumi dengan rintiknya. Namun, air
hujan tak hanya menjadi satu-satunya air yang jatuh sore ini. Aku terdiam
menatap air mata yang jatuh perlahan di pipimu, setelah sebelumnya menggenang tak
tertahan di pelupuk matamu. Di pojok ruang itu, hening kembali menemanimu,
namun kini kegundahan terasa menggelayut di sekitarmu. Menaungimu dari segala
euforia yang terasa di ruang monokrom itu. Mengapa senja hilang dari ronamu,
wahai kau yang selalu kupuja?
Mungkin hidup ini bisa diibaratkan bagai
sepotong senja yang berlalu hari demi hari. Satu hari, kau bisa merasakan
keindahannya yang menggebu, terlukis dalam semburat tegas merah kekuningan di
atas birunya cakrawala. Di lain hari, hidup membawamu dalam dekapan yang hangat,
seperti ketika sore datang dengan sederhana. Namun, ada kalanya Langit
bersedih, tak ayal membawamu untuk sedikit merasakan dinginnya rintik hujan senja
dalam kehidupan. Tidak, Langit bukanlah sosok yang jahat. Hujan kehidupan
bukanlah sesuatu yang harus kau sesali. Justru ialah anomali yang harus kau
syukuri. Kita belajar bahwa tak ada yang abadi, semua akan berlalu dengan
pasti. Tanpa adanya anomali, kita tak akan mampu mengecap rasa syukur atas apa
yang sudah kita miliki. Jadi, masih perlukah kita bersedih hati, atas apa yang
sudah terjadi?
Aku
melipat surat itu dengan hati-hati, memasukkannya dalam amplop, kemudian
menutupnya. Teruntuk senja yang selalu kupuja, tulisku. Aku tersenyum tipis.
Bahkan ia kini menjelma anomali dalam kemonotonan kegiatanku.
Dan aku bersyukur untuk hujan di
penghujung hari itu. Tanpa air hujan, aku tak akan menyadari bahwa matahari
senja membawa warna terindah dalam visual hari-hariku. Tanpa air matanya, aku
tak akan menyadari bahwa rona kebahagiaannya merupakan hal terindah dalam detak
hidupku.
/4/
Suasana
kafe terlihat lengang. Tak banyak kegiatan terlihat di ruang monokrom berlapis
kaca ini. Aku memerhatikan sekeliling sambil membersihkan gelas-gelas kopi.
Hanya ada segelintir pengunjung yang datang dan bercengkerama. Dan kamu. Kamu
yang tak pernah sekalipun absen melewati penghujung hari di pojok ruang ini.
Ditemani segelas Americano, langit
sore selalu kau selami dengan tatapanmu yang dalam. Sore itu terlihat berbeda.
Terbentuk seberkas pelangi seusai hujan turun siang tadi, menambah rona dalam
kanvas cakrawala senja.
Kamu pun
terlihat berbeda. Kulihat surat itu sudah berada di tanganmu, ditemani dengan
ekspresi keherananmu karena menemukan surat di meja itu. Pandanganku tak pernah
lepas sedetikpun, menunggu saat-saat surat itu terbuka di tanganmu. Dan
akhirnya, surat itu terbuka di hadapanmu. Kamu pun terdiam. Menelisik tiap
kata. Meresapi tiap makna.
Dan
setelah itu, pikiranku kembali menjelajah. Berimajinasi, berasumsi,
bertanya-tanya. Entah mana yang lebih indah, lengkung pelangi di langit senja
ataukah seberkas senyum di wajah dirimu yang kupuja.
Namun, detik itu juga, aku langsung
mengetahui jawabannya. Dan aku tersenyum. Senjaku tak akan pernah lengkap tanpa
hadirmu.
No comments:
Post a Comment