Saturday, June 10, 2017

Sepotong Senja dan Hadirmu



/1/

Suasana kafe kala itu terlihat lengang. Tak banyak kegiatan terlihat di ruang monokrom berlapis kaca ini. Aku memerhatikan sekeliling sambil membersihkan gelas-gelas kopi. Hanya ada segelintir pengunjung yang datang dan bercengkerama. Dan kamu. Kamu yang tak pernah sekalipun absen melewati penghujung hari di pojok ruang ini. Ditemani segelas Americano, langit sore selalu kau selami dengan tatapanmu yang dalam. Di kala alpanya kesibukanku sebagai barista, pandanganku tak pernah lepas memerhatikanmu. Kau yang selalu duduk menyilangkan kaki dan berpangku tangan, berlatar pemandangan kota dan langit senja itu. Meski ragaku terpaku di belakang bar ini, pikiranku tak pernah bisa diam di tempat. Berimajinasi, berasumsi, bertanya-tanya. Entah mana yang lebih indah, semburat merah langit senja atau sosokmu yang diam layaknya sore yang sederhana.


Dan aku tersenyum. Senjaku tak akan pernah lengkap tanpa hadirmu.

/2/

Kursi di depanmu pun tak lagi kosong. Di satu senja yang cerah dengan semburat merah kekuningan, kalian datang bagai sepasang insan yang sedang memadu kasih. “Dua Americano, tolong,” sahutmu tersenyum. Tak lama, kalian langsung menuju pojok ruang itu, tempatmu biasa duduk. Hening tak lagi menjadi temanmu, berganti menjadi canda tawa dan kisah-kisah yang dilontarkannya. Begitupun hari-hari selanjutnya. Entah berapa ratus kali senyum itu hadir di wajahmu, atau berapa puluh kali tawa itu mewarnai ekspresimu. Sore itu, aku bagai saksi akan satu siklus kehidupan manusia yang fana ini. Ketika kamu bisa larut dalam satu kebahagiaan yang menjelma sosok di hadapanmu. Entah mana yang lebih indah, semburat merah kekuningan langit senja atau selukis senyum di wajahmu yang merona.

Karena bagiku, kau adalah senja yang kupuja. Biarlah aku menyaksikan keindahanmu dari kejauhan, tak memiliki, ataupun dimiliki. Senja adalah senja, sebagaimana adanya.

/3/

Sudah bulan Desember. Desember yang kelabu, pikirku. Sore itu, merah berganti abu-abu. Sejauh mata memandang, lanskap kota terlihat samar keabuan, dibiaskan oleh butir hujan yang terpercik di dinding kaca. Langit menumpahkan kesedihannya dalam dekapan Bumi, membasahi Bumi dengan rintiknya. Namun, air hujan tak hanya menjadi satu-satunya air yang jatuh sore ini. Aku terdiam menatap air mata yang jatuh perlahan di pipimu, setelah sebelumnya menggenang tak tertahan di pelupuk matamu. Di pojok ruang itu, hening kembali menemanimu, namun kini kegundahan terasa menggelayut di sekitarmu. Menaungimu dari segala euforia yang terasa di ruang monokrom itu. Mengapa senja hilang dari ronamu, wahai kau yang selalu kupuja?

Mungkin hidup ini bisa diibaratkan bagai sepotong senja yang berlalu hari demi hari. Satu hari, kau bisa merasakan keindahannya yang menggebu, terlukis dalam semburat tegas merah kekuningan di atas birunya cakrawala. Di lain hari, hidup membawamu dalam dekapan yang hangat, seperti ketika sore datang dengan sederhana. Namun, ada kalanya Langit bersedih, tak ayal membawamu untuk sedikit merasakan dinginnya rintik hujan senja dalam kehidupan. Tidak, Langit bukanlah sosok yang jahat. Hujan kehidupan bukanlah sesuatu yang harus kau sesali. Justru ialah anomali yang harus kau syukuri. Kita belajar bahwa tak ada yang abadi, semua akan berlalu dengan pasti. Tanpa adanya anomali, kita tak akan mampu mengecap rasa syukur atas apa yang sudah kita miliki. Jadi, masih perlukah kita bersedih hati, atas apa yang sudah terjadi?

Aku melipat surat itu dengan hati-hati, memasukkannya dalam amplop, kemudian menutupnya. Teruntuk senja yang selalu kupuja, tulisku. Aku tersenyum tipis. Bahkan ia kini menjelma anomali dalam kemonotonan kegiatanku.

Dan aku bersyukur untuk hujan di penghujung hari itu. Tanpa air hujan, aku tak akan menyadari bahwa matahari senja membawa warna terindah dalam visual hari-hariku. Tanpa air matanya, aku tak akan menyadari bahwa rona kebahagiaannya merupakan hal terindah dalam detak hidupku.

/4/

Suasana kafe terlihat lengang. Tak banyak kegiatan terlihat di ruang monokrom berlapis kaca ini. Aku memerhatikan sekeliling sambil membersihkan gelas-gelas kopi. Hanya ada segelintir pengunjung yang datang dan bercengkerama. Dan kamu. Kamu yang tak pernah sekalipun absen melewati penghujung hari di pojok ruang ini. Ditemani segelas Americano, langit sore selalu kau selami dengan tatapanmu yang dalam. Sore itu terlihat berbeda. Terbentuk seberkas pelangi seusai hujan turun siang tadi, menambah rona dalam kanvas cakrawala senja.

Kamu pun terlihat berbeda. Kulihat surat itu sudah berada di tanganmu, ditemani dengan ekspresi keherananmu karena menemukan surat di meja itu. Pandanganku tak pernah lepas sedetikpun, menunggu saat-saat surat itu terbuka di tanganmu. Dan akhirnya, surat itu terbuka di hadapanmu. Kamu pun terdiam. Menelisik tiap kata. Meresapi tiap makna.

Dan setelah itu, pikiranku kembali menjelajah. Berimajinasi, berasumsi, bertanya-tanya. Entah mana yang lebih indah, lengkung pelangi di langit senja ataukah seberkas senyum di wajah dirimu yang kupuja.

Namun, detik itu juga, aku langsung mengetahui jawabannya. Dan aku tersenyum. Senjaku tak akan pernah lengkap tanpa hadirmu.

No comments:

Post a Comment