Terkadang,
kesepian bisa datang bahkan saat kau dikelilingi banyak orang. Adakah yang
lebih sengsara ketimbang sendiri di tengah dunia yang ramai ini?
. . .
Tempat ini merupakan tempat favoritku untuk
menyendiri. Undakan batu tempatku duduk inilah temanku dalam merenungi
kehidupanku. Di tengah suara debur ombak dan camar yang saling
bersahut-sahutan, aku merasakan ketenangan. Sejauh mata memandang, hanya terlihat
pemandangan pantai dan langit yang kemerah-merahan, menyajikan panorama yang
tak ternilai. Sungguh tempat yang sempurna, pikirku.
Meski aku sering pergi sendiri, tak jarang
aku mengajak dia untuk sekedar mengobrol, seperti hari ini. Tak pernah bosan untuk
mengobrol dengannya. Ia seperti refleksi diriku dalam berbagai hal, meski ia
perempuan. Lucu juga, menemukan refleksi diri di orang yang berbeda jenis
kelamin, pikirku. Sejenak, pikiranku melayang ke tempat lain.
“Hei,
melamun saja. Apa yang sedang kamu pikirkan?” sahutnya tiba-tiba.
Aku menoleh padanya. “Oh, tidak ada yang penting, kok,”
sahutku cepat, berharap ia tidak menyadarinya. Gagal, tentunya. Ia cuman
tersenyum, memandangku dengan tatapan aku-tahu-bukan-itu-yang-sebenarnya. Aku
menghela napas. Benar. Bukankah refleksi tak pernah bisa berbohong?
“Sebenarnya, ada beberapa hal yang cukup
mengganggu pikiranku akhir-akhir ini. Meski bukan sesuatu yang penting, tapi itu
lumayan mengganggu konsentrasiku dalam banyak hal,” kataku akhirnya.
Aku terdiam sebentar, berusaha merangkai
kata-kata. “Menurutmu, bagaimana kepribadianku? Dan, pernahkah kau berpikir,
bahwa kepribadianku mempengaruhi hubunganku dengan teman-temanku? Karena
kulihat, justru mereka seakan menjaga jarak denganku. Hanya berinteraksi ketika
ada yang mendorong,” lanjutku.
Ia mengernyitkan dahi. “Lebih jelasnya,
sejauh apa menjaga jarak yang kau maksud?”
Aku mengangkat bahu. “Entahlah, seperti
menjaga jarak hingga kau tak bisa merasakan hubungan pertemanan yang dalam.
Sedalam menceritakan dirimu dan menceritakan dirinya. Teman yang kau percayai
untuk mendengar kisah hidupmu, dan sebaliknya. Aku tak menemukan teman seperti
itu, sih. Apa mungkin karena kepribadianku, ataukah caraku yang salah?”
Ia terdiam memandangku. Mungkin bahasaku
masih terlalu berat, pikirku. “Mungkin sederhananya, tak ada teman yang bisa
kupercaya. Dan sebaliknya, mungkin aku bukanlah teman yang bisa dipercaya. Interaksi
hanya sebatas kebutuhan kecil, tak lebih. Seringkali aku bertanya-tanya,
kenapa, ya?” Sahutku sambil tertawa
kecil. “Bukan sesuatu yang penting, sih.”
“Tidak, bukannya tidak penting,” akhirnya
ia bersuara. “Sebenarnya hal ini sudah pernah terlintas dalam pemikiranku, sih,
meskipun akhirnya hanya kupendam dalam hati,” jawabnya lagi.
“Oh, ya? Apa yang kamu pikirkan?” Jawabku
takjub.
Ia terdiam sebentar, terlihat berpikir
sesuatu sebelum akhirnya menjawab.
“Tentangmu, tentu saja. Menurutku, kamu
belum menemukan orang yang level pikirannya setara denganmu, sih. Oleh karena
itu susah untuk bertemu dengan orang yang bisa kamu percayai. Kalau dari sisi
orang lain, mungkin mereka melihatmu sebagai pribadi yang susah didekati. Kamu
susah dibaca, susah ditebak, tak ada yang bisa mengira apa isi pikiranmu. Orang
jadi berhati-hati dan menjaga jarak denganmu, karena mereka tak bisa menebak
kamu orang yang seperti apa,” jelasnya.
“Aku tak memilih untuk jadi seperti itu,
sebenarnya,” selorohku.
Ia menggelengkan kepala. “Tidak, tidak.
Susah dibaca dan susah ditebak itu bukan salahmu. Menurutku, itu ada
hubungannya dengan kelebihanmu, sih. Ya, kamu lebih dewasa, lebih mampu diandalkan,
bahkan lebih pintar bila dibanding yang lain. Ketika kamu punya cara pikir yang
berbeda, tentu cara bergaulmu berbeda, cara meresponmu juga berbeda,” jawabnya.
Ia membetulkan posisi duduknya. Sepertinya
ia sudah mulai tertarik dengan obrolan ini. Aku hendak menjawab ketika ternyata
ia melanjutkan omongannya.
“Sejujurnya, aku pun sempat merasakan hal
yang sama sepertimu. Persis. Dulu bahkan aku sering dianggap misterius karena
aku paling susah untuk ditebak,” senyumnya. “Tapi akhirnya, aku melakukan
beberapa perubahan terhadap responku dalam pergaulan. Mbunglon, istilahnya. Aku mengikuti cara berpikir mereka sehingga
aku bisa masuk dalam pergaulan mereka,” lanjutnya.
Aku hanya tertawa kecil mendengar lanjutan ceritanya.
“Apakah itu berarti aku harus mbunglon?
Sejujurnya, aku tak tahu bagaimana harus masuk dalam pergaulan, sehingga aku
bisa benar-benar diterima. Ini termasuk salah satu keinginanku sih, karena kau
tahu bahwa kesepian itu tak pernah menyenangkan,” sahutku getir.
Ia terlihat menimbang-nimbang sebentar
sebelum menjawab,
“Sebenarnya ketika aku mbunglon pun, aku tak menemukan teman seperti yang aku inginkan.
Saling menolong dan saling peduli, mungkin. Tapi tak ada teman yang bisa diajak
untuk saling berbagi kisah hidup, saling bertukar pikiran. Bukankah teman
seperti itu yang kamu cari? Yang bisa mengisi hati dan kesendirian. Hanya satu
orang temanku sebenarnya, yang mendekati kriteria itu. Meski tak sepenuhnya
memang,”
“Di awal, sebenarnya aku sudah berniat
memberikan saran, sih. Semacam ‘seringlah cerita dengan teman-temanmu’ atau
sejenisnya. Namun disitu aku sadar, bahkan dengan mbunglon pun aku tak sepenuhnya menemukan teman yang kuinginkan,
buat apa aku menyuruhmu? Tapi tetap, tak ada salahnya mencoba, meski kamu tahu
tak ada yang setara dengan pemikiranmu,” tukasnya.
“Dan bagaimana caranya mbunglon ini, lebih jelasnya? Mungkin beberapa kali aku sudah
mencoba sih, tanpa kusadari, tapi sepertinya percuma saja,” jawabku.
Ia menghela napas. “Sederhananya, kau hanya
perlu mengikuti cara pergaulan mereka,” ia memandangku. “Tapi percayalah,
bahkan dengan mbunglon pun tak akan
membuatmu bertemu dengan teman yang kau inginkan. Itu hanya akan membantumu
menemukan teman yang mengusir kesepianmu secara fisik,” sahutnya halus.
Aku hanya tertunduk memandangi butiran
pasir di bawahku. “Aku tahu,” jawabku akhirnya. “Terkadang aku bisa menerima
sih, kalau memang aku cukup berbeda. Tapi di saat seperti ini, yang aku
butuhkan cuman disadarkan dan dikuatkan kembali. Dan tak banyak yang bisa,” sahutku pelan.
“Yah,
percayalah bahwa apa yang kamu rasakan saat ini bukan kesalahanmu. Justru,
kelebihanmulah yang membuat kamu bisa seperti sekarang ini. It’s totally okay,” senyumnya.
Aku hanya membalas senyumnya. Pikiranku
kembali melayang ke tempat lain, sebelum akhirnya mengantarkanku ke satu
pertanyaan. “Soal kamu dan teman-temanmu. Di satu sisi, kamu memang tak sepenuhnya
menemukan teman yang kamu inginkan. Tapi di sisi lain, tidakkah itu bagus bisa
berada dengan mereka?”
Ia menunggu lanjutan pertanyaanku.
“Maksudku, meski kamu merasa kurang cocok karena perbedaanmu, setidaknya kamu
termasuk di dalam mereka. Tidakkah itu bisa membuat kesepianmu hilang?”
Ia memandang langit yang sekarang beranjak
malam. “Memang, tapi itu hanya mengurangi kesepian di satu sisi saja, sih.
Kesepian fisik, yang meskipun diisi terus tak akan pernah membuatmu puas,”
sahutnya.
Aku terdiam. Pikiranku kembali berkelana,
dan sayangnya menenggelamkanku dalam kesendirian yang makin mendingin.
Terkadang, kesepian fisik pun tak bisa kuhindari, apalagi kesepian batin
Tidakkah itu berarti setidaknya dia
lebih beruntung dibanding aku?
Dia punya teman yang
mengelilinginya, dia bisa bergaul dengan mereka
Sedangkan aku?
Entah kenapa aku tenggelam dalam
pemikiranku sendiri. Berharap bahwa ia yang sudah menyadarkanku akan tak ada salahnya menjadi
berbeda, juga menjadi ia yang menguatkanku di kala perasaan kesepian menguasai.
Dan tanpa sadar aku bergumam sendiri, meski ia bisa mendengarnya.
“Tidakkah menyenangkan bila menjadi dirimu?
Punya teman yang mengelilingimu, bahkan memiliki satu yang mendekati keinginanmu.
Good then, terkadang cuman itu yang
aku inginkan,” gumamku. Berharap ia menyadari rasa kesepian yang larut dalam
kalimatku. Bukankah kau refleksiku? Tidakkah kau turut merasakannya?
Ia hanya tersenyum. “Aku tahu, aku memang
salah satu yang beruntung bisa memiliki mereka, bukan?”
Ternyata tidak, pikirku sedih. Mungkin aku
terlalu berharap ia bisa turut menguatkanku. Salahkah berharap pada orang yang
sudah menyadarkanmu, bahwa ia bisa turut menguatkanmu juga?
Tapi bukankah ia sudah menyadarkanku?
Bolehkah aku kecewa karena ia tak mampu menguatkanku? Tidak, aku tak boleh
egois, pikirku. Ia menjawab pertanyaanku dengan jawaban yang kubutuhkan, bukan?
“Terima kasih sudah menemaniku. Setidaknya
aku mendapatkan jawaban yang kubutuhkan. Terkadang kita cuman perlu
disadarkan,” senyumku akhirnya. Ia membalas senyumku dengan tulus. Aku tahu ia
pun turut senang bisa memberikan jawaban yang tepat untuk permasalahanku. Biarlah
perasaan tadi kupendam dalam hati, batinku.
Hari sudah malam. Langit yang bersih dan
tak berawan menampakkan Sang Bulan, yang menerangi pantai dengan sinarnya yang
remang. Meski begitu, kami tak beranjak dari tempat masing-masing. Malam terlalu
indah untuk dilewatkan pikiran kami yang bebas. Selagi ia sibuk dengan
pikirannya, aku pun begitu. Membiarkan diriku terhanyut dalam pikiranku.
Terkadang,
kesepian bisa datang bahkan saat kau dikelilingi banyak orang. Tak ada salahnya
dengan hal itu, katanya. Namun, bisakah kau merasakan sedalam yang kurasakan?
Bisakah?
No comments:
Post a Comment