Saturday, November 5, 2016

LONELINESS : In a Deeper Meaning


Terkadang, kesepian bisa datang bahkan saat kau dikelilingi banyak orang. Adakah yang lebih sengsara ketimbang sendiri di tengah dunia yang ramai ini?


. . .

Tempat ini merupakan tempat favoritku untuk menyendiri. Undakan batu tempatku duduk inilah temanku dalam merenungi kehidupanku. Di tengah suara debur ombak dan camar yang saling bersahut-sahutan, aku merasakan ketenangan. Sejauh mata memandang, hanya terlihat pemandangan pantai dan langit yang kemerah-merahan, menyajikan panorama yang tak ternilai. Sungguh tempat yang sempurna, pikirku.

Meski aku sering pergi sendiri, tak jarang aku mengajak dia untuk sekedar mengobrol, seperti hari ini. Tak pernah bosan untuk mengobrol dengannya. Ia seperti refleksi diriku dalam berbagai hal, meski ia perempuan. Lucu juga, menemukan refleksi diri di orang yang berbeda jenis kelamin, pikirku. Sejenak, pikiranku melayang ke tempat lain.

Terkadang, ketika kau dianggap ‘lebih’, akan ada konsekuensi yang timbul. Aku bertanya-tanya, apakah kesepian termasuk di dalamnya?

Pernahkah kau membayangkan menjadi seseorang yang ‘lebih’ di lingkunganmu? Lebih dianggap mampu, lebih diandalkan, lebih dewasa? Bayangkanlah. Bermainlah dengan deraan imajinasi yang kini merasuk dalam pikiranmu. Menyatulah dengannya. Jadilah aku. Jadilah diriku. Lalu, aku akan mengajukan satu pertanyaan untukmu.

Apa yang kau rasakan?

Hei, melamun saja. Apa yang sedang kamu pikirkan?” sahutnya tiba-tiba.

Aku menoleh padanya. “Oh, tidak ada yang penting, kok,” sahutku cepat, berharap ia tidak menyadarinya. Gagal, tentunya. Ia cuman tersenyum, memandangku dengan tatapan aku-tahu-bukan-itu-yang-sebenarnya. Aku menghela napas. Benar. Bukankah refleksi tak pernah bisa berbohong?

“Sebenarnya, ada beberapa hal yang cukup mengganggu pikiranku akhir-akhir ini. Meski bukan sesuatu yang penting, tapi itu lumayan mengganggu konsentrasiku dalam banyak hal,” kataku akhirnya.

Aku terdiam sebentar, berusaha merangkai kata-kata. “Menurutmu, bagaimana kepribadianku? Dan, pernahkah kau berpikir, bahwa kepribadianku mempengaruhi hubunganku dengan teman-temanku? Karena kulihat, justru mereka seakan menjaga jarak denganku. Hanya berinteraksi ketika ada yang mendorong,” lanjutku.

Ia mengernyitkan dahi. “Lebih jelasnya, sejauh apa menjaga jarak yang kau maksud?”

Aku mengangkat bahu. “Entahlah, seperti menjaga jarak hingga kau tak bisa merasakan hubungan pertemanan yang dalam. Sedalam menceritakan dirimu dan menceritakan dirinya. Teman yang kau percayai untuk mendengar kisah hidupmu, dan sebaliknya. Aku tak menemukan teman seperti itu, sih. Apa mungkin karena kepribadianku, ataukah caraku yang salah?”

Ia terdiam memandangku. Mungkin bahasaku masih terlalu berat, pikirku. “Mungkin sederhananya, tak ada teman yang bisa kupercaya. Dan sebaliknya, mungkin aku bukanlah teman yang bisa dipercaya. Interaksi hanya sebatas kebutuhan kecil, tak lebih. Seringkali aku bertanya-tanya, kenapa, ya?” Sahutku sambil tertawa kecil. “Bukan sesuatu yang penting, sih.”

“Tidak, bukannya tidak penting,” akhirnya ia bersuara. “Sebenarnya hal ini sudah pernah terlintas dalam pemikiranku, sih, meskipun akhirnya hanya kupendam dalam hati,” jawabnya lagi.

“Oh, ya? Apa yang kamu pikirkan?” Jawabku takjub.

Ia terdiam sebentar, terlihat berpikir sesuatu sebelum akhirnya menjawab.

“Tentangmu, tentu saja. Menurutku, kamu belum menemukan orang yang level pikirannya setara denganmu, sih. Oleh karena itu susah untuk bertemu dengan orang yang bisa kamu percayai. Kalau dari sisi orang lain, mungkin mereka melihatmu sebagai pribadi yang susah didekati. Kamu susah dibaca, susah ditebak, tak ada yang bisa mengira apa isi pikiranmu. Orang jadi berhati-hati dan menjaga jarak denganmu, karena mereka tak bisa menebak kamu orang yang seperti apa,” jelasnya.

“Aku tak memilih untuk jadi seperti itu, sebenarnya,” selorohku.

Ia menggelengkan kepala. “Tidak, tidak. Susah dibaca dan susah ditebak itu bukan salahmu. Menurutku, itu ada hubungannya dengan kelebihanmu, sih. Ya, kamu lebih dewasa, lebih mampu diandalkan, bahkan lebih pintar bila dibanding yang lain. Ketika kamu punya cara pikir yang berbeda, tentu cara bergaulmu berbeda, cara meresponmu juga berbeda,” jawabnya.

Ia membetulkan posisi duduknya. Sepertinya ia sudah mulai tertarik dengan obrolan ini. Aku hendak menjawab ketika ternyata ia melanjutkan omongannya.

“Sejujurnya, aku pun sempat merasakan hal yang sama sepertimu. Persis. Dulu bahkan aku sering dianggap misterius karena aku paling susah untuk ditebak,” senyumnya. “Tapi akhirnya, aku melakukan beberapa perubahan terhadap responku dalam pergaulan. Mbunglon, istilahnya. Aku mengikuti cara berpikir mereka sehingga aku bisa masuk dalam pergaulan mereka,” lanjutnya.

Aku hanya tertawa kecil mendengar lanjutan ceritanya. “Apakah itu berarti aku harus mbunglon? Sejujurnya, aku tak tahu bagaimana harus masuk dalam pergaulan, sehingga aku bisa benar-benar diterima. Ini termasuk salah satu keinginanku sih, karena kau tahu bahwa kesepian itu tak pernah menyenangkan,” sahutku getir.

Ia terlihat menimbang-nimbang sebentar sebelum menjawab,

“Sebenarnya ketika aku mbunglon pun, aku tak menemukan teman seperti yang aku inginkan. Saling menolong dan saling peduli, mungkin. Tapi tak ada teman yang bisa diajak untuk saling berbagi kisah hidup, saling bertukar pikiran. Bukankah teman seperti itu yang kamu cari? Yang bisa mengisi hati dan kesendirian. Hanya satu orang temanku sebenarnya, yang mendekati kriteria itu. Meski tak sepenuhnya memang,”

“Di awal, sebenarnya aku sudah berniat memberikan saran, sih. Semacam ‘seringlah cerita dengan teman-temanmu’ atau sejenisnya. Namun disitu aku sadar, bahkan dengan mbunglon pun aku tak sepenuhnya menemukan teman yang kuinginkan, buat apa aku menyuruhmu? Tapi tetap, tak ada salahnya mencoba, meski kamu tahu tak ada yang setara dengan pemikiranmu,” tukasnya.

“Dan bagaimana caranya mbunglon ini, lebih jelasnya? Mungkin beberapa kali aku sudah mencoba sih, tanpa kusadari, tapi sepertinya percuma saja,” jawabku.

Ia menghela napas. “Sederhananya, kau hanya perlu mengikuti cara pergaulan mereka,” ia memandangku. “Tapi percayalah, bahkan dengan mbunglon pun tak akan membuatmu bertemu dengan teman yang kau inginkan. Itu hanya akan membantumu menemukan teman yang mengusir kesepianmu secara fisik,” sahutnya halus.

Aku hanya tertunduk memandangi butiran pasir di bawahku. “Aku tahu,” jawabku akhirnya. “Terkadang aku bisa menerima sih, kalau memang aku cukup berbeda. Tapi di saat seperti ini, yang aku butuhkan cuman disadarkan dan dikuatkan kembali. Dan tak banyak yang bisa,” sahutku pelan.

Yah, percayalah bahwa apa yang kamu rasakan saat ini bukan kesalahanmu. Justru, kelebihanmulah yang membuat kamu bisa seperti sekarang ini. It’s totally okay,” senyumnya.

Aku hanya membalas senyumnya. Pikiranku kembali melayang ke tempat lain, sebelum akhirnya mengantarkanku ke satu pertanyaan. “Soal kamu dan teman-temanmu. Di satu sisi, kamu memang tak sepenuhnya menemukan teman yang kamu inginkan. Tapi di sisi lain, tidakkah itu bagus bisa berada dengan mereka?”

Ia menunggu lanjutan pertanyaanku. “Maksudku, meski kamu merasa kurang cocok karena perbedaanmu, setidaknya kamu termasuk di dalam mereka. Tidakkah itu bisa membuat kesepianmu hilang?”

Ia memandang langit yang sekarang beranjak malam. “Memang, tapi itu hanya mengurangi kesepian di satu sisi saja, sih. Kesepian fisik, yang meskipun diisi terus tak akan pernah membuatmu puas,” sahutnya.

Aku terdiam. Pikiranku kembali berkelana, dan sayangnya menenggelamkanku dalam kesendirian yang makin mendingin.

Lalu, bagaimana dengan diriku?
Terkadang, kesepian fisik pun tak bisa kuhindari, apalagi kesepian batin
Tidakkah itu berarti setidaknya dia lebih beruntung dibanding aku?
Dia punya teman yang mengelilinginya, dia bisa bergaul dengan mereka
Sedangkan aku?
           
Entah kenapa aku tenggelam dalam pemikiranku sendiri. Berharap bahwa ia yang sudah menyadarkanku akan tak ada salahnya menjadi berbeda, juga menjadi ia yang menguatkanku di kala perasaan kesepian menguasai. Dan tanpa sadar aku bergumam sendiri, meski ia bisa mendengarnya.

“Tidakkah menyenangkan bila menjadi dirimu? Punya teman yang mengelilingimu, bahkan memiliki satu yang mendekati keinginanmu. Good then, terkadang cuman itu yang aku inginkan,” gumamku. Berharap ia menyadari rasa kesepian yang larut dalam kalimatku. Bukankah kau refleksiku? Tidakkah kau turut merasakannya?

Ia hanya tersenyum. “Aku tahu, aku memang salah satu yang beruntung bisa memiliki mereka, bukan?”

Ternyata tidak, pikirku sedih. Mungkin aku terlalu berharap ia bisa turut menguatkanku. Salahkah berharap pada orang yang sudah menyadarkanmu, bahwa ia bisa turut menguatkanmu juga?

Tapi bukankah ia sudah menyadarkanku? Bolehkah aku kecewa karena ia tak mampu menguatkanku? Tidak, aku tak boleh egois, pikirku. Ia menjawab pertanyaanku dengan jawaban yang kubutuhkan, bukan?

“Terima kasih sudah menemaniku. Setidaknya aku mendapatkan jawaban yang kubutuhkan. Terkadang kita cuman perlu disadarkan,” senyumku akhirnya. Ia membalas senyumku dengan tulus. Aku tahu ia pun turut senang bisa memberikan jawaban yang tepat untuk permasalahanku. Biarlah perasaan tadi kupendam dalam hati, batinku.

Hari sudah malam. Langit yang bersih dan tak berawan menampakkan Sang Bulan, yang menerangi pantai dengan sinarnya yang remang. Meski begitu, kami tak beranjak dari tempat masing-masing. Malam terlalu indah untuk dilewatkan pikiran kami yang bebas. Selagi ia sibuk dengan pikirannya, aku pun begitu. Membiarkan diriku terhanyut dalam pikiranku.

Terkadang, kesepian bisa datang bahkan saat kau dikelilingi banyak orang. Tak ada salahnya dengan hal itu, katanya. Namun, bisakah kau merasakan sedalam yang kurasakan?

Bisakah?

No comments:

Post a Comment