Apakah sebenarnya rasa sesal itu?
Aku menyesap kopiku
perlahan. Di pojok ruangan tempatku duduk, aku bisa melihat ke seluruh area
kafe. Tidak terlalu besar, namun suasana terasa nyaman. Tidak banyak meja yang
terisi. Hanya terdapat beberapa orang duduk sambil menikmati waktu mereka. Para
bartender sesekali terlihat sibuk
meramu kopi yang dipesan pelanggan. Alunan musik yang mengalir lembut berpadu
dengan derasnya hujan diluar sana. Perpaduan yang sempurna untuk sebuah
perenungan, batinku.
Duduk disini ketika
cuaca tidak bersahabat bukanlah kehendakku. Kalau bukan karena permintaannya,
aku pasti akan lebih memilih tidur di rumah. Tapi, ia sahabatku. Sepertinya ada
masalah, terlihat di raut wajahnya. Dan lagi, disini suasananya tidak
buruk-buruk amat. Aku suka tempat
ini, pikirku.
“Ada apa?
Sepertinya wajahmu tidak terlihat bahagia. Ada masalah di tempat kerjamu?” Aku
memulai pembicaraan sambil meletakkan cangkir kopiku. Ia memandangku sebentar,
menyibak rambutnya sebelum akhirnya berkata,
“Ehm, tidak juga. Namun ada beberapa hal
yang mengganggu pikiranku belakangan ini. Semua terasa baik-baik saja, namun
ada perasaan tidak enak yang menghantuiku. Seringkali itu membuatku terjaga
hingga larut, sehingga aku tak bisa berkonsentrasi di kantor,” sahutnya sambil
menghela napas.
Aku memandangnya.
“Seperti apa kira-kira, yang kamu rasakan?”
Ia menyeruput chocolate milkshake-nya, terlihat
berpikir sebentar sebelum akhirnya berkata, “Penyesalan, mungkin? Seringkali
aku berpikir mengenai keputusan-keputusanku di masa lalu, dan seringkali timbul
rasa sesal akibat mengambil keputusan itu. Keputusan yang sudah membuatku
menjadi seperti sekarang ini,” jawabnya.
“Mengapa harus
disesali?”
“Entahlah, mungkin
karena aku melihat, ada beberapa keputusanku di masa lalu yang kurang tepat,
sehingga membuat masa kini tidak berjalan semulus yang seharusnya?” katanya
ragu. Ia mengedikkan bahu.
Aku tertawa kecil.
“Kalau seandainya kamu memilih keputusan yang kamu anggap tepat, apakah masa
kini akan berjalan lebih baik daripada sekarang? Tidak ada yang tahu, itu kan,
hanya prediksi,” jawabku sambil tersenyum.
“Memang, aku
setuju. Tapi, tidakkah dalam perasaanmu muncul perkataan seperti, ‘seharusnya
aku bisa lebih baik, seandainya dulu aku mengambil keputusan yang ini dan bukan
yang itu’? Seandainya waktu bisa diputarbalikkan.”
Aku menyesap kopiku
sebelum akhirnya berkata, “Aku pun pernah mengalaminya. Tapi, siapa yang tahu?
Benar dan salah bukan suatu kemutlakan disini, mereka relatif sesuai dengan
persepsimu sekarang. Bila yang terjadi tidak sesuai dengan perspektifmu, tentu
hal itu akan menjadi salah di matamu,” jelasku.
Ia berpikir
sebentar. “Mungkin maksudmu adalah, keputusanku di masa lalu sudah tepat? Hanya
saja perspektifku sekarang tidak tepat sehingga aku menyesalinya?”
Aku terdiam
sebentar, berusaha untuk merangkai kata-kata. “Sebagian besar dari kita pasti
akan mengambil keputusan dengan banyak pertimbangan, baik menurut intuisi
maupun pengalaman. Tidak mungkin kan, pada saat itu kamu mengambil keputusan
yang menurutmu tidak tepat,”
“Dengan kata lain,
keputusan itu sudah tepat, bagi dirimu di masa lalu. Tapi tidak ada yang statis
di dunia ini. Semua berubah seiring waktu dan kondisi, membuat yang dulunya
tepat jadi terasa tidak tepat. Dari situlah bisa muncul penyesalan,” jelasku.
“Jadi, keputusanku
di masa lalu sudah tepat, sesuai dengan keadaan yang dulu?”
“Sesuai dengan
pertimbanganmu ketika mengambil keputusan itu. Mungkin di masa kini kamu sudah
lebih berpengalaman dan lebih memahami, sehingga ketika kamu memandang kembali
kebelakang, kamu merasa dirimu yang dulu belum mengambil keputusan yang tepat,”
aku menghabiskan sisa kopiku sebelum melanjutkan,
“Tapi, seandainya
kamu tidak mengalami itu, tentu kamu tak akan bisa berpikir seperti ini.
Perspektif tepat bagi dirimu di masa lalu dan perspektif tepat bagi dirimu di
masa kini tentu sudah berbeda. Bukankah tak ada yang perlu disesali, kalau
begitu?”
“Begitu, ya. Aku
tidak berpikir sampai kesana, sih,” sahutnya.
Aku tersenyum.
“Seandainya kamu diberi kesempatan untuk memutarbalikkan waktu, namun dengan
syarat ingatanmu pun akan dikembalikan seperti ketika masa itu, akankah kamu
mengambil keputusan yang berbeda?”
Ia tersenyum.
“Entahlah, aku tak bisa membayangkannya. Namun, besar kemungkinan aku akan
tetap mengambil keputusan yang sama,” katanya.
“Begitulah.
Sederhana. Seringkali kita lupa bahwa pemahaman kita yang sekarang dan dulu
berbeda, tak bisa disandingkan bersama-sama. Bila memang seperti itu, apa yang
menjadi penyesalan kita? Tak ada yang perlu disesali,” jawabku.
Ia hanya tersenyum
sambil memandang keluar. Sepertinya ia sudah menemukan pencerahan. Hujan sudah
mulai reda, menyisakan rintik-rintik kecil yang membasahi Bumi. Aku kembali
tenggelam dalam pikiranku sendiri. Seandainya tak ada yang dapat disesali, lalu
apa sebenarnya rasa sesal itu? Seandainya sudah memahami, akankah rasa sesal
itu menghilang seakan tak pernah ada? Bisakah kukatakan bahwa rasa sesal muncul
bagi mereka yang belum memahami? Seperti ketika kau memutuskan untuk mengikuti
cerita ini sampai akhir, akan ada kemungkinan rasa yang muncul, dimana salah
satunya rasa sesal karena sepertinya tulisan ini tak sesuai dengan
perspektifmu. Tapi, pikirkanlah, perlukah kau sesali keputusanmu ketika memulai
membaca ini? Pemahamanmu ketika belum membaca dan setelah membaca tentulah
berbeda, sehingga adakah yang perlu disesali, kalau begitu?
Untukmu yang turut
mengambil peran, terima kasih. Kegundahanmu di malam hari telah menginspirasiku
menulis kisah ini. Dan untukmu yang sudah mengikuti hingga akhir, aku berharap
semoga tak ada penyesalan. Semoga.
No comments:
Post a Comment