Wednesday, August 3, 2016

REGRET : Does it Really Exist?



Apakah sebenarnya rasa sesal itu?

Aku menyesap kopiku perlahan. Di pojok ruangan tempatku duduk, aku bisa melihat ke seluruh area kafe. Tidak terlalu besar, namun suasana terasa nyaman. Tidak banyak meja yang terisi. Hanya terdapat beberapa orang duduk sambil menikmati waktu mereka. Para bartender sesekali terlihat sibuk meramu kopi yang dipesan pelanggan. Alunan musik yang mengalir lembut berpadu dengan derasnya hujan diluar sana. Perpaduan yang sempurna untuk sebuah perenungan, batinku. 


Duduk disini ketika cuaca tidak bersahabat bukanlah kehendakku. Kalau bukan karena permintaannya, aku pasti akan lebih memilih tidur di rumah. Tapi, ia sahabatku. Sepertinya ada masalah, terlihat di raut wajahnya. Dan lagi, disini suasananya tidak buruk-buruk amat. Aku suka tempat ini, pikirku.  

“Ada apa? Sepertinya wajahmu tidak terlihat bahagia. Ada masalah di tempat kerjamu?” Aku memulai pembicaraan sambil meletakkan cangkir kopiku. Ia memandangku sebentar, menyibak rambutnya sebelum akhirnya berkata,

Ehm, tidak juga. Namun ada beberapa hal yang mengganggu pikiranku belakangan ini. Semua terasa baik-baik saja, namun ada perasaan tidak enak yang menghantuiku. Seringkali itu membuatku terjaga hingga larut, sehingga aku tak bisa berkonsentrasi di kantor,” sahutnya sambil menghela napas.

Aku memandangnya. “Seperti apa kira-kira, yang kamu rasakan?”

Ia menyeruput chocolate milkshake-nya, terlihat berpikir sebentar sebelum akhirnya berkata, “Penyesalan, mungkin? Seringkali aku berpikir mengenai keputusan-keputusanku di masa lalu, dan seringkali timbul rasa sesal akibat mengambil keputusan itu. Keputusan yang sudah membuatku menjadi seperti sekarang ini,” jawabnya.

“Mengapa harus disesali?”

“Entahlah, mungkin karena aku melihat, ada beberapa keputusanku di masa lalu yang kurang tepat, sehingga membuat masa kini tidak berjalan semulus yang seharusnya?” katanya ragu. Ia mengedikkan bahu.

Aku tertawa kecil. “Kalau seandainya kamu memilih keputusan yang kamu anggap tepat, apakah masa kini akan berjalan lebih baik daripada sekarang? Tidak ada yang tahu, itu kan, hanya prediksi,” jawabku sambil tersenyum.

“Memang, aku setuju. Tapi, tidakkah dalam perasaanmu muncul perkataan seperti, ‘seharusnya aku bisa lebih baik, seandainya dulu aku mengambil keputusan yang ini dan bukan yang itu’? Seandainya waktu bisa diputarbalikkan.”

Aku menyesap kopiku sebelum akhirnya berkata, “Aku pun pernah mengalaminya. Tapi, siapa yang tahu? Benar dan salah bukan suatu kemutlakan disini, mereka relatif sesuai dengan persepsimu sekarang. Bila yang terjadi tidak sesuai dengan perspektifmu, tentu hal itu akan menjadi salah di matamu,” jelasku.

Ia berpikir sebentar. “Mungkin maksudmu adalah, keputusanku di masa lalu sudah tepat? Hanya saja perspektifku sekarang tidak tepat sehingga aku menyesalinya?”

Aku terdiam sebentar, berusaha untuk merangkai kata-kata. “Sebagian besar dari kita pasti akan mengambil keputusan dengan banyak pertimbangan, baik menurut intuisi maupun pengalaman. Tidak mungkin kan, pada saat itu kamu mengambil keputusan yang menurutmu tidak tepat,”

“Dengan kata lain, keputusan itu sudah tepat, bagi dirimu di masa lalu. Tapi tidak ada yang statis di dunia ini. Semua berubah seiring waktu dan kondisi, membuat yang dulunya tepat jadi terasa tidak tepat. Dari situlah bisa muncul penyesalan,” jelasku.

“Jadi, keputusanku di masa lalu sudah tepat, sesuai dengan keadaan yang dulu?”

“Sesuai dengan pertimbanganmu ketika mengambil keputusan itu. Mungkin di masa kini kamu sudah lebih berpengalaman dan lebih memahami, sehingga ketika kamu memandang kembali kebelakang, kamu merasa dirimu yang dulu belum mengambil keputusan yang tepat,” aku menghabiskan sisa kopiku sebelum melanjutkan,

“Tapi, seandainya kamu tidak mengalami itu, tentu kamu tak akan bisa berpikir seperti ini. Perspektif tepat bagi dirimu di masa lalu dan perspektif tepat bagi dirimu di masa kini tentu sudah berbeda. Bukankah tak ada yang perlu disesali, kalau begitu?”

“Begitu, ya. Aku tidak berpikir sampai kesana, sih,” sahutnya.

Aku tersenyum. “Seandainya kamu diberi kesempatan untuk memutarbalikkan waktu, namun dengan syarat ingatanmu pun akan dikembalikan seperti ketika masa itu, akankah kamu mengambil keputusan yang berbeda?”

Ia tersenyum. “Entahlah, aku tak bisa membayangkannya. Namun, besar kemungkinan aku akan tetap mengambil keputusan yang sama,” katanya.

“Begitulah. Sederhana. Seringkali kita lupa bahwa pemahaman kita yang sekarang dan dulu berbeda, tak bisa disandingkan bersama-sama. Bila memang seperti itu, apa yang menjadi penyesalan kita? Tak ada yang perlu disesali,” jawabku.

Ia hanya tersenyum sambil memandang keluar. Sepertinya ia sudah menemukan pencerahan. Hujan sudah mulai reda, menyisakan rintik-rintik kecil yang membasahi Bumi. Aku kembali tenggelam dalam pikiranku sendiri. Seandainya tak ada yang dapat disesali, lalu apa sebenarnya rasa sesal itu? Seandainya sudah memahami, akankah rasa sesal itu menghilang seakan tak pernah ada? Bisakah kukatakan bahwa rasa sesal muncul bagi mereka yang belum memahami? Seperti ketika kau memutuskan untuk mengikuti cerita ini sampai akhir, akan ada kemungkinan rasa yang muncul, dimana salah satunya rasa sesal karena sepertinya tulisan ini tak sesuai dengan perspektifmu. Tapi, pikirkanlah, perlukah kau sesali keputusanmu ketika memulai membaca ini? Pemahamanmu ketika belum membaca dan setelah membaca tentulah berbeda, sehingga adakah yang perlu disesali, kalau begitu?

Untukmu yang turut mengambil peran, terima kasih. Kegundahanmu di malam hari telah menginspirasiku menulis kisah ini. Dan untukmu yang sudah mengikuti hingga akhir, aku berharap semoga tak ada penyesalan. Semoga.

No comments:

Post a Comment