“Hidup
ini tidak adil,” gerutunya sambil menghela napas.
Aku
hanya terdiam memandang kejauhan. Tempat ini merupakan tempat favorit kami.
Diatas bukit ini, kami bisa memandang jauh hingga batas cakrawala. Hijaunya
dedaunan terhampar sejauh mata memandang. Sungai besar mengalir di sebelah kiri
bawah, alirannya cukup deras. Matahari memancarkan sinarnya yang hangat. Tempat
yang sempurna untuk mengasingkan diri dari hiruk-pikuk realita, batinku.
Ia
melanjutkan. “Terkadang, sepertinya aku tak mendapat apa yang sepantasnya
kudapatkan. Aku sudah berbuat baik, melayani-Nya, bahkan aku tak mengikuti
ajakan teman yang kutahu itu menjerumuskan. Tapi apa yang kudapat? Memang benar
bahwa mengikuti aliran lebih mudah daripada melawan,” sahutnya.
Aku
menunjuk sungai dikiriku. “Apakah kau tahu kira-kira kemana aliran sungai itu
pergi?”
Ia
menaikkan alisnya. “Aku tidak tertarik akan hal seperti itu. Sepertinya aku
tidak menemukan korelasi antara apa yang kukatakan dengan responmu,” dengusnya.
Aku
tertawa. “Itu pertanyaan retoris, kawan. Sesungguhnya kemanapun aliran itu
pergi, ia akan selalu pergi ketempat yang lebih rendah. Bukankah memang begitu
sifatnya? Bagaimanapun, aliran tidak akan pernah membawa kita ketempat yang
lebih tinggi. Aku mencoba mengikuti apa yang kau katakan,” jawabku.
Ia
memungut batu disampingnya, lalu melemparkannya. “Aku hanya berusaha melihat
realita yang terjadi. Apa yang kudapatkan dengan melawan aliran dalam sungai
duniawi ini? Jangan bayangkan bahwa aliran itu tenang. Aku merasa seperti
memanjat sebuah air terjun tanpa batas,” katanya.
Aku
tersenyum. “Sebenarnya, semua tergantung pada apa yang kita pilih. Tidakkah kau
bayangkan bahkan kenyataan pun bergantung pada apa yang kita persepsikan?
Itulah mengapa tiap orang menghadapi realita yang berbeda-beda, sebagaimana
persepsi mereka mengartikannya. Ketika kau memilih untuk memandang dari sisi
yang memberatkan, kau akan merasa berat. Begitu pula sebaliknya.
Aku
terdiam sebelum melanjutkan,
“Daripada
memandang air terjun yang ada dihadapanmu, tidakkah kau pernah mencoba
memandang dari sisi yang lain? Aku tahu, segalanya akan terasa berat di awal,
itu wajar. Tapi, ketika kau sudah mampu melewati masa itu, maka kau akan
terbiasa dan bahkan menganggap itu normal. Mungkin dapat kuilustrasikan kau
sudah berhasil melewati terjangan air terjun itu, dan sekarang kau merasa
melewati aliran sungai yang pelan meskipun derasnya aliran tetap sama. Alah
bisa karena biasa, ingat? Aku kira hal tersebut jauh lebih berharga ketimbang
apa yang kau dapatkan ketika mengikuti aliran. Hei, bayangkan. Hidupmu hanya
mengalir mengikuti arus! Hidupmu tidak akan pernah menuju ke tempat yang lebih
tinggi, namun selalu turun kebawah, apa enaknya?” jelasku.
“Tapi
kalau begitu, apa yang bisa kudapatkan setelah itu? Apa aku mendapat sesuatu?”
Aku
tertawa. “Tidakkah kau lihat bahwa ketika kau sudah mampu melewati beratnya
melawan arus tersebut, kau sudah berada dalam posisi yang lebih tinggi dari
mereka yang mengikuti arus? Dan ketika ada badai, kamu jauh lebih kuat. Air
terjun tersebut menempamu hingga batasmu, sehingga badai pun tak akan mampu
menghempaskanmu. Bukankah itu sesuatu yang sangat berharga? Kau hanya bisa
mendapatkannya bila berani mengambil langkah untuk tak mengikuti arus duniawi,”
kataku.
Ia
hanya terdiam. Senyum tipis terlukis di wajahnya. Sepertinya ia sudah
mendapatkan jawaban atas kegelisahannya. Aku terdiam memikirkan kata-kataku
kembali. Memang benar, semua kembali pada pilihan. Apakah kita mau mendobrak
arus, meskipun hal tersebut seakan menantang air terjun tanpa batas? Apakah
kita mau berfokus pada proses, bukan pada hasil yang didapatkan? Pilihan
kembali pada kita. Karena sekali lagi, kenyataan bukanlah sebagaimana mestinya,
namun bergantung pada persepsi semata. Dan persepsi, ditentukan oleh pilihan
yang kita ambil. Termasuk, ketika kau memutuskan untuk bersama denganku hingga
akhir tulisan ini. Semoga setidaknya aku bisa memberimu sedikit bahan pemikiran
dalam batinmu. Semoga.
No comments:
Post a Comment