“Brmmm.. klik.”
Perlahan aku mematikan mobilku dan
beranjak keluar. Hembusan angin dingin langsung menerpa tubuhku. Sudah mulai
memasuki musim dingin rupanya. Aku merapatkan mantel cokelat yang kukenakan.
Disini cukup sepi, batinku. Pemandangan Sungai Seine pada malam hari terhampar
didepanku. Kelap kelip lampu penerangan menghiasi pandangan. Terlihat Menara
Eiffel berdiri tegak di kejauhan. Aku bersandar pada pembatas jembatan,
pikiranku melayang pada kejadian beberapa hari yang lalu.
“A-apa Bapak tidak bisa memikirkan hal ini lagi?” jawabku terbata-bata.
“Saya sudah berusaha. Namun pimpinan sudah memutuskan. Inilah keputusan
terbaik untukmu. Saya harap kamu mengerti,” katanya.
Aku terdiam tak mampu berkata-kata. Setelah mengucapkan terima kasih,
aku berjalan pelan meninggalkan ruangannya. Perlahan aku memandang
sekelilingku, pemandangan yang selalu kulihat selama tiga tahun terakhir. Aku
hanya tersenyum tipis, membayangkan itulah kesempatan terakhirku untuk
melihatnya.
“Bonsoir,”
Aku terkejut dari lamunanku dan menoleh.
Seorang bapak berusia sekitar 50 tahun, mengenakan mantel panjang dan topi
pemburu rusa. Badannya kecil, ia tidak lebih tinggi dariku. Bibirnya tersenyum
tipis, menambah guratan usia yang ada di wajahnya. Aku tidak ingat pernah
bertemu dengan orang ini, batinku.
“Bonsoir.
Apa ada yang bisa saya bantu?” jawabku sopan. Mungkin ia perlu bantuan.
“Apakah Anda bisa membantu saya
membetulkan mobil saya? Asap keluar dari mesinnya, dan saya kira ada sesuatu
yang rusak. Namun saya tidak mengerti,” jawabnya.
Dari air mukanya terlihat ia sangat
membutuhkan pertolongan. Tidak ada salahnya membantu, pikirku. Toh aku mengerti
bagaimana cara memperbaiki mesin yang rusak. Ayahku seorang manajer operasional
di perusahaan mesin, dan sedikit banyak aku mengenal mesin sebaik mengenal
dirinya. Aku dan bapak itu pergi ke tempat mobil berhenti. Terlihat asap keluar
dari sela-sela kap mobil. Aku membuka kapnya dan mengecek sebentar. Ah, ini
bukan masalah yang besar. Aku bisa membetulkannya.
“Kau sungguh baik, anak muda. Orang lain
yang kujumpai tak satupun menghiraukanku. Mereka hanya peduli pada dirinya
sendiri,” sahut bapak itu. Aku tersenyum menanggapi perkataannya. Ia
melanjutkan kata-katanya, “Namun mengapa raut mukamu terlihat begitu gundah,
anak muda? Sepertinya ada yang mengganjal pikiranmu,” katanya.
Meskipun aku tak ingin mengatakannya,
anehnya ada dorongan kuat untuk menceritakannya. Setidaknya kita tak akan
bertemu lagi, jadi tak masalah, batinku. “Oh, tidak. Aku baru saja dipecat dari
perusahaan tempatku bekerja selama tiga tahun terakhir. Aku merasa seperti
berada pada titik terbawah roda kehidupanku. Itu saja,” sahutku tersenyum
sambil menunduk membetulkan mobilnya.
Ia tersenyum menanggapi perkataanku. “Ah,
begitu permasalahannya. Tapi, nak, tidakkah kau pikir bahwa perumpamaan roda
itu kurang cocok dengan kehidupan? Bawah ataupun atas, semua itu tergantung
dari perspektif kita, bukan? Terkadang suatu hal tidak seperti apa yang
terlihat diluar,” katanya.
Hembusan angin menerpa. Aku merapatkan
mantelku dengan tangan kiri seraya berusaha mengencangkan baut yang kendor. Aku
mengangkat kepalaku, “Tapi bukankah dipecat merupakan suatu hal yang buruk? Tidak
ada sesuatu pun yang membuktikan bahwa aku ada di bagian atas roda kehidupan.”
Ia tersenyum. “Bawah ataupun atas, itu
tergantung perspektifmu, anak muda. Sebab kau tak bisa melihat suatu kejadian
hanya dari satu sisi saja,” sahutnya.
“Saya lebih setuju dengan perumpamaan
bahwa hidup layaknya tuts piano. Tuts hitam seringkali melambangkan sebuah
kejadian yang tak menyenangkan. Gelap, suram. Namun tidakkah kau tahu, anak
muda? Tanpa adanya tuts hitam, tak akan ada simfoni yang menggugah hati. Selalu
ada keindahan dibalik gelapnya kehidupan, Anak Muda. Kau hanya perlu mengubah
perspektifmu,” lanjutnya.
Ia mengambil sesuatu dari sakunya. Sebuah
sapu tangan berwarna putih. Ia mencolek sebagian oli yang ada di mesin mobil,
dan menutul sapu tangan itu dibagian tengah. Warna hitam langsung memenuhi
bagian tengah sapu tangan tersebut. Ia membentangkannya padaku.
“Lihatlah, anak muda. Apa yang kau lihat
disini?” ia bertanya.
Aku menegakkan tubuhku dan menoleh. “Sebuah
titik hitam di sapu tangan yang berwarna putih, tentu saja. Apa yang Anda
harapkan?” Aku menjawab.
Tak disangka-sangka ia tersenyum, lagi.
“Bayangkanlah sapu tangan ini sebagai kejadian yang kau alami. Titik hitam ini
sebagai masalah yang terjadi. Seringkali kita terlalu terfokus pada titik hitam
ini, meskipun sebenarnya ini hanyalah sebuah titik. Tidakkah kau lihat betapa
luasnya sisi putih yang ada di sapu tangan ini? Masih banyak hal yang bisa
disyukuri dari sebuah masalah kehidupan. Kau hanya perlu mengubah
perspektifmu,” jelasnya.
Aku terdiam lama. Merenungkan
penjelasannya. Mungkin, apa yang dikatakan oleh bapak itu benar. Mungkin ada
maksud dibalik kejadian yang aku alami. Aku hanya perlu mencari sisi putih daripada
terfokus pada titik hitam dari sebuah kejadian. Aku akan mencoba memikirkannya
nanti, batinku.
“Ingatlah, anak muda. Hidup tidak membawa
kita berputar keatas dan kebawah layaknya roda. Terkadang yang terlihat baik
belum tentu baik, dan yang terlihat tidak baik belum tentu tidak baik. Namun yang
pasti, semua harus terjadi agar kita mampu melihat simfoni indah dari sebuah
kehidupan. Kita hanya perlu memandangnya dari sisi yang berbeda,” kata bapak
itu halus. Suaranya, diluar dugaan, mampu menenangkan hati.
Aku tak menjawab. Masuk akal, pikirku. Sepertinya
itulah akar permasalahanku. Perkataannya sanggup membuatku berpikir kembali
akan perspektifku. Mungkin bukan lagi berfokus pada titik hitam, namun pada
sisi putih dari sapu tangan tersebut. Mungkin aku memang harus mengalaminya
untuk memulai kehidupan baru yang lebih baik. Masih banyak hal yang bisa
disyukuri. Aku tertawa dalam hati menyadari betapa piciknya perspektifku selama
ini. Dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari ini, aku merasa lega. Aku
mengangkat kepalaku setelah sekian lama menunduk. Mobilnya sudah benar.
“Terima kasih. Nasehat Anda sangat
membantu. Dan ini mobilnya….”
Aku terkejut tak melanjutkan perkataanku. Lho, kemana bapak itu? Aku menutup kap
mobil dan memandang sekeliling. Sepi, tak terlihat tanda-tanda seseorang
disana. Aku meninggalkan mobil dan berjalan berkeliling mencari bapak itu. Lama
aku mencari namun hasilnya nihil. Bagaimana bisa ia meninggalkan mobilnya?
Aku kembali, memandang mobil yang
terparkir disana. Tunggu, batinku. Sepertinya ada yang aneh. Tiba-tiba aku
tersadar, dan detik itu juga bulu kudukku merinding. Tunggu, itu bukan
mobilnya. Itu mobilku! Aku berlari, membuka kap mobilnya.
Benar! Itu bukanlah mobil bapak itu, sebab
kenyataannya aku membetulkan mobilku sendiri! Lalu, dengan siapa tadi aku
berbicara?
Pikiranku berkecamuk. Aku terdiam sambil
memandang mobilku. Dinginnya udara tak kuhiraukan. Perasaan tadi mobilku
baik-baik saja, pikirku. Kerusakan tadi memang tak terlalu berpengaruh, namun
tentu membahayakan bila tak ditangani secepatnya. Padahal kupikir mobil ini
baik-baik saja. Namun tiba-tiba, perkataan bapak itu terngiang dalam kepalaku.
Aku tersenyum. Hari ini sungguh berbeda, pikirku.
“Terkadang yang terlihat baik belum tentu
baik, dan yang terlihat tidak baik belum tentu tidak baik. Kita hanya perlu
mengubah perspektif kita.”
No comments:
Post a Comment