Wednesday, February 3, 2016

PERSPECTIVE : It Does Matter

“Brmmm.. klik.”

Perlahan aku mematikan mobilku dan beranjak keluar. Hembusan angin dingin langsung menerpa tubuhku. Sudah mulai memasuki musim dingin rupanya. Aku merapatkan mantel cokelat yang kukenakan. Disini cukup sepi, batinku. Pemandangan Sungai Seine pada malam hari terhampar didepanku. Kelap kelip lampu penerangan menghiasi pandangan. Terlihat Menara Eiffel berdiri tegak di kejauhan. Aku bersandar pada pembatas jembatan, pikiranku melayang pada kejadian beberapa hari yang lalu.


“A-apa Bapak tidak bisa memikirkan hal ini lagi?” jawabku terbata-bata.

“Saya sudah berusaha. Namun pimpinan sudah memutuskan. Inilah keputusan terbaik untukmu. Saya harap kamu mengerti,” katanya.

Aku terdiam tak mampu berkata-kata. Setelah mengucapkan terima kasih, aku berjalan pelan meninggalkan ruangannya. Perlahan aku memandang sekelilingku, pemandangan yang selalu kulihat selama tiga tahun terakhir. Aku hanya tersenyum tipis, membayangkan itulah kesempatan terakhirku untuk melihatnya.

Bonsoir,

Aku terkejut dari lamunanku dan menoleh. Seorang bapak berusia sekitar 50 tahun, mengenakan mantel panjang dan topi pemburu rusa. Badannya kecil, ia tidak lebih tinggi dariku. Bibirnya tersenyum tipis, menambah guratan usia yang ada di wajahnya. Aku tidak ingat pernah bertemu dengan orang ini, batinku.

Bonsoir. Apa ada yang bisa saya bantu?” jawabku sopan. Mungkin ia perlu bantuan.

“Apakah Anda bisa membantu saya membetulkan mobil saya? Asap keluar dari mesinnya, dan saya kira ada sesuatu yang rusak. Namun saya tidak mengerti,” jawabnya.

Dari air mukanya terlihat ia sangat membutuhkan pertolongan. Tidak ada salahnya membantu, pikirku. Toh aku mengerti bagaimana cara memperbaiki mesin yang rusak. Ayahku seorang manajer operasional di perusahaan mesin, dan sedikit banyak aku mengenal mesin sebaik mengenal dirinya. Aku dan bapak itu pergi ke tempat mobil berhenti. Terlihat asap keluar dari sela-sela kap mobil. Aku membuka kapnya dan mengecek sebentar. Ah, ini bukan masalah yang besar. Aku bisa membetulkannya.

“Kau sungguh baik, anak muda. Orang lain yang kujumpai tak satupun menghiraukanku. Mereka hanya peduli pada dirinya sendiri,” sahut bapak itu. Aku tersenyum menanggapi perkataannya. Ia melanjutkan kata-katanya, “Namun mengapa raut mukamu terlihat begitu gundah, anak muda? Sepertinya ada yang mengganjal pikiranmu,” katanya.

Meskipun aku tak ingin mengatakannya, anehnya ada dorongan kuat untuk menceritakannya. Setidaknya kita tak akan bertemu lagi, jadi tak masalah, batinku. “Oh, tidak. Aku baru saja dipecat dari perusahaan tempatku bekerja selama tiga tahun terakhir. Aku merasa seperti berada pada titik terbawah roda kehidupanku. Itu saja,” sahutku tersenyum sambil menunduk membetulkan mobilnya.

Ia tersenyum menanggapi perkataanku. “Ah, begitu permasalahannya. Tapi, nak, tidakkah kau pikir bahwa perumpamaan roda itu kurang cocok dengan kehidupan? Bawah ataupun atas, semua itu tergantung dari perspektif kita, bukan? Terkadang suatu hal tidak seperti apa yang terlihat diluar,” katanya.

Hembusan angin menerpa. Aku merapatkan mantelku dengan tangan kiri seraya berusaha mengencangkan baut yang kendor. Aku mengangkat kepalaku, “Tapi bukankah dipecat merupakan suatu hal yang buruk? Tidak ada sesuatu pun yang membuktikan bahwa aku ada di bagian atas roda kehidupan.”

Ia tersenyum. “Bawah ataupun atas, itu tergantung perspektifmu, anak muda. Sebab kau tak bisa melihat suatu kejadian hanya dari satu sisi saja,” sahutnya.

“Saya lebih setuju dengan perumpamaan bahwa hidup layaknya tuts piano. Tuts hitam seringkali melambangkan sebuah kejadian yang tak menyenangkan. Gelap, suram. Namun tidakkah kau tahu, anak muda? Tanpa adanya tuts hitam, tak akan ada simfoni yang menggugah hati. Selalu ada keindahan dibalik gelapnya kehidupan, Anak Muda. Kau hanya perlu mengubah perspektifmu,” lanjutnya.

Ia mengambil sesuatu dari sakunya. Sebuah sapu tangan berwarna putih. Ia mencolek sebagian oli yang ada di mesin mobil, dan menutul sapu tangan itu dibagian tengah. Warna hitam langsung memenuhi bagian tengah sapu tangan tersebut. Ia membentangkannya padaku.

“Lihatlah, anak muda. Apa yang kau lihat disini?” ia bertanya.

Aku menegakkan tubuhku dan menoleh. “Sebuah titik hitam di sapu tangan yang berwarna putih, tentu saja. Apa yang Anda harapkan?” Aku menjawab.

Tak disangka-sangka ia tersenyum, lagi. “Bayangkanlah sapu tangan ini sebagai kejadian yang kau alami. Titik hitam ini sebagai masalah yang terjadi. Seringkali kita terlalu terfokus pada titik hitam ini, meskipun sebenarnya ini hanyalah sebuah titik. Tidakkah kau lihat betapa luasnya sisi putih yang ada di sapu tangan ini? Masih banyak hal yang bisa disyukuri dari sebuah masalah kehidupan. Kau hanya perlu mengubah perspektifmu,” jelasnya.

Aku terdiam lama. Merenungkan penjelasannya. Mungkin, apa yang dikatakan oleh bapak itu benar. Mungkin ada maksud dibalik kejadian yang aku alami. Aku hanya perlu mencari sisi putih daripada terfokus pada titik hitam dari sebuah kejadian. Aku akan mencoba memikirkannya nanti, batinku.

“Ingatlah, anak muda. Hidup tidak membawa kita berputar keatas dan kebawah layaknya roda. Terkadang yang terlihat baik belum tentu baik, dan yang terlihat tidak baik belum tentu tidak baik. Namun yang pasti, semua harus terjadi agar kita mampu melihat simfoni indah dari sebuah kehidupan. Kita hanya perlu memandangnya dari sisi yang berbeda,” kata bapak itu halus. Suaranya, diluar dugaan, mampu menenangkan hati.

Aku tak menjawab. Masuk akal, pikirku. Sepertinya itulah akar permasalahanku. Perkataannya sanggup membuatku berpikir kembali akan perspektifku. Mungkin bukan lagi berfokus pada titik hitam, namun pada sisi putih dari sapu tangan tersebut. Mungkin aku memang harus mengalaminya untuk memulai kehidupan baru yang lebih baik. Masih banyak hal yang bisa disyukuri. Aku tertawa dalam hati menyadari betapa piciknya perspektifku selama ini. Dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari ini, aku merasa lega. Aku mengangkat kepalaku setelah sekian lama menunduk. Mobilnya sudah benar.

“Terima kasih. Nasehat Anda sangat membantu. Dan ini mobilnya….”

Aku terkejut tak melanjutkan perkataanku. Lho, kemana bapak itu? Aku menutup kap mobil dan memandang sekeliling. Sepi, tak terlihat tanda-tanda seseorang disana. Aku meninggalkan mobil dan berjalan berkeliling mencari bapak itu. Lama aku mencari namun hasilnya nihil. Bagaimana bisa ia meninggalkan mobilnya?

Aku kembali, memandang mobil yang terparkir disana. Tunggu, batinku. Sepertinya ada yang aneh. Tiba-tiba aku tersadar, dan detik itu juga bulu kudukku merinding. Tunggu, itu bukan mobilnya. Itu mobilku! Aku berlari, membuka kap mobilnya.

Benar! Itu bukanlah mobil bapak itu, sebab kenyataannya aku membetulkan mobilku sendiri! Lalu, dengan siapa tadi aku berbicara?

Pikiranku berkecamuk. Aku terdiam sambil memandang mobilku. Dinginnya udara tak kuhiraukan. Perasaan tadi mobilku baik-baik saja, pikirku. Kerusakan tadi memang tak terlalu berpengaruh, namun tentu membahayakan bila tak ditangani secepatnya. Padahal kupikir mobil ini baik-baik saja. Namun tiba-tiba, perkataan bapak itu terngiang dalam kepalaku. Aku tersenyum. Hari ini sungguh berbeda, pikirku.

“Terkadang yang terlihat baik belum tentu baik, dan yang terlihat tidak baik belum tentu tidak baik. Kita hanya perlu mengubah perspektif kita.”

No comments:

Post a Comment