Monday, January 25, 2016

IMAGINATION : Beyond Reality

“Apakah dunia ini terbatas, ataukah tak terbatas?”

Aku bersuara setelah lama terdiam. Taburan bintang dilangit malam memenuhi setiap sudut mataku. Beragam konstelasi membentuk keindahan yang memikat hati. Sembari berbaring di hamparan rumput yang luas, aku menoleh. Memandangnya yang juga berbaring disampingku. Menunggu jawabannya.

Matanya memandang jauh keatas. Ia menjawab, “Terbatas, namun juga tak terbatas. Terbatas sejauh manusia mampu mengeksplorasinya. Tak terbatas, karena kita memiliki ini,” ia menunjuk kepalanya, “imajinasi.”


“Imajinasi membuatnya tak terbatas?” Sahutku.

“Benar. Mungkin dapat kukatakan bahwa dunia ini terbatas pada persepsi indriawi kita. Melalui hal itulah kita mampu menilai dunia sebagaimana adanya. Namun hanya sebatas itu. Tapi imajinasi jauh melebihi persepsi indriawi yang kita terima saat ini. Ia tak terbatas dimensi. Kau bisa membentuk dunia yang kau inginkan dalam imajinasimu, dan bahkan imajinasimu bisa mengubah dunia yang sedang ada sekarang ini. Sebab perspektifmu terhadap dunia sedikit banyak dipengaruhi dari imajinasimu. Bila memang ada sesuatu yang membatasinya, itu karena kau mengekangnya,” jelasnya. Matanya masih tetap memandang keatas.

Aku terdiam. Berusaha mencerna kata-katanya. Tidak berhasil sepenuhnya, sayangnya. “Bisakah kau memberikan gambaran yang lebih sederhana?” pintaku. “Aku hanya menangkap sebagian dari kata-katamu, kurasa,” aku menambahkan ketika melihatnya melihatku. Ia terdiam sebentar sebelum berkata,

“Pandanglah setiap titik bintang disana. Tidakkah kau pikir diantara berjuta titik yang ada diatas kita, satu diantaranya terdapat kehidupan? Pastilah kau berpikir tidak mungkin, karena itu hanyalah sebuah bintang tanpa kehidupan. Itulah yang membatasi kita, sebelum menggunakan imajinasi. Tapi coba bayangkan. Bagaimana bila salah satu diantara bintang itu menggunakan kamuflase berteknologi tinggi, sehingga bahkan teknologi manusia pun tidak bisa menembusnya?”

Ia terdiam sebentar sebelum melanjutkan,
“Bila memang seperti itu, tidakkah kau memandang jutaan bintang itu dengan perspektif yang sedikit berbeda? Kau akan bertanya-tanya, kira-kira bintang manakah yang sebenarnya hanyalah kamuflase dari bentuk kehidupan yang lebih tinggi? Dengan berpikiran seperti itu, kau sudah mengubah dunia dalam kacamata dirimu sendiri. Sebab langkah pertama untuk mengubah dunia ialah setitik imajinasi,” sahutnya meregangkan tubuhnya. Kini kedua lengannya terlipat dibawah kepalanya.

Aku terdiam. Lama. Banyak hal kupikirkan, sebelum akhirnya aku berkata, “Kalau begitu, kau pasti pernah berimajinasi tentang kehidupanmu didunia ini. Ceritakan, bolehkah?”

Ia tertawa kecil. “Pertanyaanmu sungguh tak terduga, ya. Baiklah, tapi aku akan menjelaskan apa yang kubayangkan dalam sebuah perumpamaan. Tentunya untuk membantu otak kecilmu agar tak terlalu panas,” sahutnya geli. Aku melotot. Ia tertawa semakin keras. Ia menunggu tawanya berhenti sebelum akhirnya berkata,

“Baiklah, aku menganggap bahwa hidup ini seperti sebuah cerita. Bisakah kau bayangkan bahwa dibalik eksistensiku dan dirimu, ada seorang penulis yang sedang menyusun kata demi kata untuk menyelesaikan adegan kita pada malam hari ini? Mungkin setiap kata yang aku dan kamu ucapkan, setiap gerak tubuh kita, setiap pemandangan ini, sudah terbentuk dalam imajinasinya, dan sekarang sedang berlangsung bagian dimana aku menceritakan pandangan hidupku padamu. Ia sudah merencanakan hal ini, dan bahkan ia sudah merencanakan seluruh kehidupanku hingga akhirnya eksistensiku berakhir dalam ceritanya! Bisakah kau bayangkan hal ini?” katanya semangat.

Aku mengernyitkan dahi akan satu fakta yang kupikirkan. “Tapi bila memang begitu, tidakkah dia adalah penulis yang jahat? Ia mengakhiri eksistensi hidup seorang manusia dalam damai, namun di satu sisi ada seorang manusia yang berakhir dengan kesakitan dan penderitaan. Mengapa ia tidak adil seperti itu?”

Ia mendesah. “Itulah masalahnya. Ia bukannya tidak adil. Hanya saja, tidak semua orang membiarkan kisah kehidupannya ditulis oleh sang penulis. Kita semua memiliki keinginan bebas, bukan? Keinginan bebaslah sedikit banyak yang membedakan kita dengan karakter cerita biasa. Andai semua orang menyerahkan kisah hidup mereka padanya, akhir dari cerita tersebut akan lebih indah, bukan?” Ia mengambil napas sejenak sebelum melanjutkan,

“Uniknya, sekalipun kita berada dalam ceritanya, kita tetap memiliki keinginan bebas tersebut. Kita diberi keinginan bebas, namun semua tetap berada dalam plot ceritanya. Ia tahu setiap karakternya, ia mengenal setiap pribadinya. Ia sudah memperhitungkan puluhan bahkan ratusan langkah kedepan dari setiap pilihan yang kita ambil. Itulah hebatnya. Ia adalah penulis dengan imajinasi tanpa batas melebihi yang dapat dibayangkan manusia. Bahkan keberadaannya jauh melebihi eksistensi apapun yang ada didunia ini. Karena sederhana, ialah penulisnya,” ia tersenyum. Sepertinya ia sudah selesai menjelaskan.

Ada satu hal yang menggelitik rasa ingin tahuku. “Kau bercerita seolah kau mengenal dirinya. Mampukah karakter cerita sepertimu memahami pengarangnya?”

Ia tersenyum semakin lebar. Sepertinya topik ini membuatnya bersemangat. “Memahami sepenuhnya, tentu tidak. Kita hanyalah karakter ceritanya yang terbatas. Tapi mengenalnya, iya. Ia bukanlah penulis layaknya manusia. Ia membiarkan dirinya dikenal oleh karakternya. Rasionalmu akan memprotes, sebab segala yang kukatakan jauh melampaui rasionalitas duniawi. Jadi, itu tidak penting saat ini,” katanya.

“Bagaimana caramu mengenalnya? Adakah sarananya?”

“Ah, tentu saja. Sejujurnya kau sudah memilikinya. Aku memberikanmu hadiah pada saat perayaan ulang tahunmu dua hari lalu, kau ingat? Itulah sarananya,” ungkapnya.

Aku terdiam. Entah sudah berapa lama kami berbaring disini. Taburan bintang masih memenuhi langit diatas kami, menemani dalam bisu. Aku merenungkan kata-katanya. Tidakkah imajinasi itu terlalu nyata untuk disebut imajinasi? Fakta bahwa ia hidup dengan imajinasi seperti itu membuatku terhenyak. Sepertinya aku masih buta dalam memandang dunia ini. Benar katanya. Indera semata tak akan mampu menjelaskan betapa tak terbatasnya realita dunia yang ada. Hal itulah yang membuat dunia menjadi terbatas. Karena indera terbatas.

Aku jadi membayangkan, bagaimana seandainya imajinasinya benar? Bahwa, kehidupan ini semata merupakan sebuah cerita dari seorang penulis dengan imajinasi tanpa batas? Imajinasinya didukung oleh bukti, bukan? Tapi, bagaimana bila sebaliknya? Bagaimana bila sebenarnya ia hanya menyusun imajinasi berdasarkan bukti nyata?

“Imajinasimu terdengar sangat nyata. Sangat kompleks, namun di satu sisi sangat sederhana,” kataku akhirnya.

Ia hanya tersenyum. “Memang begitulah adanya. Tidak banyak orang yang menyadari hal ini. Imajinasi tak akan menjadi nyata bila kita berdiam diri, tapi aku sungguh berharap bahwa akan datang masa dimana setiap kisah yang dituliskan di dunia ini adalah kisah dari sang penulis. Kisah yang penuh dengan intrik dan lika-liku, namun berakhir indah. Bukankah itu sebuah cerita yang sangat bagus?”

Aku menutup mataku sejenak. Kompleks, namun sederhana. Aku seakan mendapatkan sesuatu yang baru dalam memandang kehidupan ini. Mungkin aku bisa memulainya dengan mengenal penulis yang ia sebutkan. Bisakah aku mengenal penulis tersebut dengan baik, sebaik aku mengenal salah satu karakternya yang tengah berbaring disampingku? Mungkin, tidak ada salahnya berimajinasi. Aku mencoba mengingat buku yang ia berikan dua hari lalu. Ya, itu sebuah buku, sangat tebal seperti sebuah novel. Aku sangat mengingatnya karena hanya ialah yang memberikanku hadiah sebuah buku. Apa judulnya? Aku berkeras mengingatnya.

Ah, akhirnya aku mengingat judul buku itu. Aku tersenyum.

Alkitab, batinku.

No comments:

Post a Comment