“Apakah dunia ini terbatas, ataukah tak
terbatas?”
Aku bersuara setelah lama terdiam. Taburan
bintang dilangit malam memenuhi setiap sudut mataku. Beragam konstelasi
membentuk keindahan yang memikat hati. Sembari berbaring di hamparan rumput
yang luas, aku menoleh. Memandangnya yang juga berbaring disampingku. Menunggu
jawabannya.
Matanya memandang jauh keatas. Ia
menjawab, “Terbatas, namun juga tak terbatas. Terbatas sejauh manusia mampu
mengeksplorasinya. Tak terbatas, karena kita memiliki ini,” ia menunjuk
kepalanya, “imajinasi.”
“Imajinasi membuatnya tak terbatas?”
Sahutku.
“Benar. Mungkin dapat kukatakan bahwa
dunia ini terbatas pada persepsi indriawi kita. Melalui hal itulah kita mampu
menilai dunia sebagaimana adanya. Namun hanya sebatas itu. Tapi imajinasi jauh
melebihi persepsi indriawi yang kita terima saat ini. Ia tak terbatas dimensi. Kau
bisa membentuk dunia yang kau inginkan dalam imajinasimu, dan bahkan
imajinasimu bisa mengubah dunia yang sedang ada sekarang ini. Sebab
perspektifmu terhadap dunia sedikit banyak dipengaruhi dari imajinasimu. Bila
memang ada sesuatu yang membatasinya, itu karena kau mengekangnya,” jelasnya.
Matanya masih tetap memandang keatas.
Aku terdiam. Berusaha mencerna
kata-katanya. Tidak berhasil sepenuhnya, sayangnya. “Bisakah kau memberikan
gambaran yang lebih sederhana?” pintaku. “Aku hanya menangkap sebagian dari
kata-katamu, kurasa,” aku menambahkan ketika melihatnya melihatku. Ia terdiam
sebentar sebelum berkata,
“Pandanglah setiap titik bintang disana.
Tidakkah kau pikir diantara berjuta titik yang ada diatas kita, satu
diantaranya terdapat kehidupan? Pastilah kau berpikir tidak mungkin, karena itu
hanyalah sebuah bintang tanpa kehidupan. Itulah yang membatasi kita, sebelum menggunakan
imajinasi. Tapi coba bayangkan. Bagaimana bila salah satu diantara bintang itu
menggunakan kamuflase berteknologi tinggi, sehingga bahkan teknologi manusia
pun tidak bisa menembusnya?”
Ia terdiam sebentar sebelum melanjutkan,
“Bila memang seperti itu, tidakkah kau
memandang jutaan bintang itu dengan perspektif yang sedikit berbeda? Kau akan
bertanya-tanya, kira-kira bintang manakah yang sebenarnya hanyalah kamuflase
dari bentuk kehidupan yang lebih tinggi? Dengan berpikiran seperti itu, kau
sudah mengubah dunia dalam kacamata dirimu sendiri. Sebab langkah pertama untuk
mengubah dunia ialah setitik imajinasi,” sahutnya meregangkan tubuhnya. Kini
kedua lengannya terlipat dibawah kepalanya.
Aku terdiam. Lama. Banyak hal kupikirkan,
sebelum akhirnya aku berkata, “Kalau begitu, kau pasti pernah berimajinasi
tentang kehidupanmu didunia ini. Ceritakan, bolehkah?”
Ia tertawa kecil. “Pertanyaanmu sungguh
tak terduga, ya. Baiklah, tapi aku akan menjelaskan apa yang kubayangkan dalam
sebuah perumpamaan. Tentunya untuk membantu otak kecilmu agar tak terlalu panas,”
sahutnya geli. Aku melotot. Ia tertawa semakin keras. Ia menunggu tawanya
berhenti sebelum akhirnya berkata,
“Baiklah, aku menganggap bahwa hidup ini
seperti sebuah cerita. Bisakah kau bayangkan bahwa dibalik eksistensiku dan
dirimu, ada seorang penulis yang sedang menyusun kata demi kata untuk
menyelesaikan adegan kita pada malam hari ini? Mungkin setiap kata yang aku dan
kamu ucapkan, setiap gerak tubuh kita, setiap pemandangan ini, sudah terbentuk
dalam imajinasinya, dan sekarang sedang berlangsung bagian dimana aku
menceritakan pandangan hidupku padamu. Ia sudah merencanakan hal ini, dan
bahkan ia sudah merencanakan seluruh kehidupanku hingga akhirnya eksistensiku
berakhir dalam ceritanya! Bisakah kau bayangkan hal ini?” katanya semangat.
Aku mengernyitkan dahi akan satu fakta
yang kupikirkan. “Tapi bila memang begitu, tidakkah dia adalah penulis yang
jahat? Ia mengakhiri eksistensi hidup seorang manusia dalam damai, namun di
satu sisi ada seorang manusia yang berakhir dengan kesakitan dan penderitaan.
Mengapa ia tidak adil seperti itu?”
Ia mendesah. “Itulah masalahnya. Ia
bukannya tidak adil. Hanya saja, tidak semua orang membiarkan kisah
kehidupannya ditulis oleh sang penulis. Kita semua memiliki keinginan bebas,
bukan? Keinginan bebaslah sedikit banyak yang membedakan kita dengan karakter
cerita biasa. Andai semua orang menyerahkan kisah hidup mereka padanya, akhir
dari cerita tersebut akan lebih indah, bukan?” Ia mengambil napas sejenak
sebelum melanjutkan,
“Uniknya, sekalipun kita berada dalam
ceritanya, kita tetap memiliki keinginan bebas tersebut. Kita diberi keinginan
bebas, namun semua tetap berada dalam plot ceritanya. Ia tahu setiap
karakternya, ia mengenal setiap pribadinya. Ia sudah memperhitungkan puluhan
bahkan ratusan langkah kedepan dari setiap pilihan yang kita ambil. Itulah
hebatnya. Ia adalah penulis dengan imajinasi tanpa batas melebihi yang dapat
dibayangkan manusia. Bahkan keberadaannya jauh melebihi eksistensi apapun yang
ada didunia ini. Karena sederhana, ialah penulisnya,” ia tersenyum. Sepertinya
ia sudah selesai menjelaskan.
Ada satu hal yang menggelitik rasa ingin
tahuku. “Kau bercerita seolah kau mengenal dirinya. Mampukah karakter cerita
sepertimu memahami pengarangnya?”
Ia tersenyum semakin lebar. Sepertinya
topik ini membuatnya bersemangat. “Memahami sepenuhnya, tentu tidak. Kita
hanyalah karakter ceritanya yang terbatas. Tapi mengenalnya, iya. Ia bukanlah
penulis layaknya manusia. Ia membiarkan dirinya dikenal oleh karakternya.
Rasionalmu akan memprotes, sebab segala yang kukatakan jauh melampaui
rasionalitas duniawi. Jadi, itu tidak penting saat ini,” katanya.
“Bagaimana caramu mengenalnya? Adakah
sarananya?”
“Ah, tentu saja. Sejujurnya kau sudah
memilikinya. Aku memberikanmu hadiah pada saat perayaan ulang tahunmu dua hari
lalu, kau ingat? Itulah sarananya,” ungkapnya.
Aku terdiam. Entah sudah berapa lama kami
berbaring disini. Taburan bintang masih memenuhi langit diatas kami, menemani
dalam bisu. Aku merenungkan kata-katanya. Tidakkah imajinasi itu terlalu nyata
untuk disebut imajinasi? Fakta bahwa ia hidup dengan imajinasi seperti itu
membuatku terhenyak. Sepertinya aku masih buta dalam memandang dunia ini. Benar
katanya. Indera semata tak akan mampu menjelaskan betapa tak terbatasnya
realita dunia yang ada. Hal itulah yang membuat dunia menjadi terbatas. Karena
indera terbatas.
Aku jadi membayangkan, bagaimana
seandainya imajinasinya benar? Bahwa, kehidupan ini semata merupakan sebuah
cerita dari seorang penulis dengan imajinasi tanpa batas? Imajinasinya didukung
oleh bukti, bukan? Tapi, bagaimana bila sebaliknya? Bagaimana bila sebenarnya
ia hanya menyusun imajinasi berdasarkan bukti nyata?
“Imajinasimu terdengar sangat nyata.
Sangat kompleks, namun di satu sisi sangat sederhana,” kataku akhirnya.
Ia hanya tersenyum. “Memang begitulah
adanya. Tidak banyak orang yang menyadari hal ini. Imajinasi tak akan menjadi
nyata bila kita berdiam diri, tapi aku sungguh berharap bahwa akan datang masa
dimana setiap kisah yang dituliskan di dunia ini adalah kisah dari sang
penulis. Kisah yang penuh dengan intrik dan lika-liku, namun berakhir indah.
Bukankah itu sebuah cerita yang sangat bagus?”
Aku menutup mataku sejenak. Kompleks,
namun sederhana. Aku seakan mendapatkan sesuatu yang baru dalam memandang kehidupan
ini. Mungkin aku bisa memulainya dengan mengenal penulis yang ia sebutkan.
Bisakah aku mengenal penulis tersebut dengan baik, sebaik aku mengenal salah
satu karakternya yang tengah berbaring disampingku? Mungkin, tidak ada salahnya
berimajinasi. Aku mencoba mengingat buku yang ia berikan dua hari lalu. Ya, itu
sebuah buku, sangat tebal seperti sebuah novel. Aku sangat mengingatnya karena
hanya ialah yang memberikanku hadiah sebuah buku. Apa judulnya? Aku berkeras
mengingatnya.
Ah, akhirnya aku mengingat judul buku itu.
Aku tersenyum.
Alkitab, batinku.
No comments:
Post a Comment