Saturday, January 23, 2016

HOPE : Between Oasis, Fatamorgana, and The Time

Suasana disekeliling kami terasa sangat menenangkan. Matahari sudah mulai terbenam. Kami berdiri disebuah jembatan layang yang menyebrangi jalan bebas hambatan. Kendaraan besar dan kecil lalu-lalang dibawah kami. Meskipun begitu, disini tidak terasa ramai seperti seharusnya. Seakan ada sebuah kubah tak kasat mata yang menaungi kami dari segala bising dan hiruk-pikuk dunia.



“Tidakkah kau merasa bahwa dunia ini sangat indah, kawan? Ditengah peliknya masalah dan realita yang menerpa, masih ada setitik keindahan yang terasa. Seakan, melihat sebuah oase di tengah padang gurun yang luas,” sahutku.

“Huh, fatamorgana, kau tahu? Tidak lebih dari sekedar dimensi realitas yang terbentuk dari harapan indriawi dan psikologis. Indah, menawan, mengundang hasrat tiap jiwa yang haus, namun tidak nyata,” sahutnya skeptis. Ia memandang matahari senja di kejauhan sambil bersandar pada balkon.

“Fatamorgana, ya? Aku lebih memercayai itu sebagai oase yang memang ada ditengah padang gurun. Langka, namun realitasnya sungguh terjadi,” senyumku sambil memandang kejauhan. Langit terlihat kemerah-merahan.

Dia tertawa meremehkan. “Mengapa kamu bisa begitu yakin?”

Aku menghela napas. “Entahlah. Bukankah itu yang terjadi dalam kehidupan? Coba pikirkan. Kitalah sang terdakwa dalam persidangan akan apa yang kita yakini. Sebuah persidangan kehidupan, yang terjadi terus-menerus seiring jantung masih berdetak dalam raga. Dalam persidangan itulah kita memperjuangkan apa yang sudah menjadi keyakinan kita.”

Ia memandangku sambil mengerutkan dahi. “Aku tidak mengerti. Dengan begitu, aku menganggap bahwa yang menuntutmu adalah yang berkeyakinan tidak sama denganmu, dan sebaliknya yang membelamu adalah yang sepikir denganmu.”

Aku tertawa. “Tidak. Lebih dalam daripada itu. Bukan siapa, tapi apa. Sebab sesungguhnya hanya satu yang berperan menjadi dua, yaitu sang waktu.” 

Aku terdiam sejenak sebelum melanjutkan,
“Bukankah begitu? Waktu secara misterius selalu memiliki bukti atas apa yang sudah kita yakini. Selalu terdengar bahwa, ‘waktu yang akan membuktikan’. Dan bila begitu, sebagai sang terdakwa aku hanya bisa menunggunya sambil menerka-nerka. Apa peran yang akan dia ambil dalam persidangan kali ini? Apakah jaksa yang menyudutkanku, ataukah, pengacara yang membelaku?

Terdengar dengusannya disampingku. “Bila memang begitu, berarti kau sedang menempatkan diri sebagai pihak yang pasif. Terdiam, menunggu sang waktu datang. Namun tak berdaya, bila sang waktu datang membombardir apa yang sudah kau perjuangkan selama ini. Singkatnya, kau hanya pasrah pada keadaan, bukan begitu? Kau hanya menunggu dan menunggu.”

“Memang benar,” kataku kemudian. “Kita tak bisa lepas dari persidangan itu. Kita juga tak bisa mengganti posisi kita. Tapi ada yang bisa kita lakukan selain berpangku tangan dan pasrah pada keadaan. Dibalik kehampaan tanpa kepastian itu, masih ada secercah cahaya yang terang. Dapat kukatakan itulah harapan. Itulah yang membantu kita untuk terus memaknai setiap langkah perjalanan ini, sebelum mungkin nantinya kita akan menjumpai persidangan pada persimpangan hidup. Ya, persidangan yang mempertanyakan atas apa yang sudah kita jalani dan yakini. “

Dia memandangku lama sebelum akhirnya bersuara, “Dapat kusimpulkan bahwa oase tersebut semata-mata berlandaskan pada cahaya harapan.”

“Jauh melebihi segala fakta dan bukti yang timbul selama ini, ya. Bukankah harapan yang membuat kita tetap hidup? Dengan terus berharap bahwa kita akan melihat pagi satu kali lagi, kita sudah melanjutkan hidup satu hari lagi, bukan?” kataku, sambil menatapnya.

“Dan aku bertaruh kau pasti tidak memikirkan bagaimana bila seandainya waktu tidak berpihak kepadamu. Bila seandainya bukti yang ada menentang segala keputusanmu. Bila seandainya, oase tersebut benar-benar hanyalah fatamorgana yang teramat nyata.”

Aku menghela napas panjang. Lama kupandangi hiruk-pikuk kendaraan yang lalu-lalang dibawahku. Akhirnya aku berkata, “Bukankah itulah yang menjadikan kita hidup? Tanpa adanya hal seperti itu, takkan ada harapan didunia ini. Kita memang mampu berharap melebihi ambang batas kemustahilan, tapi hasil daripada itu bukanlah otoritas kita sepenuhnya. Bukankah lebih indah dengan berpikir itu adalah oase yang benar-benar nyata, daripada menyesali bahwa itu hanyalah sekedar fatamorgana belaka?”

Dia termenung dalam keheningan, begitupun aku. Matahari senja telah sirna, berganti menjadi ribuan titik kecil dilangit yang menghitam. Sudah malam rupanya, sang bulan sudah mengintip dikejauhan.

Lebih jauh dari semua itu, jauh dalam lubuk hatiku, aku termenung. Tak dipungkiri, aku pun berharap bahwa apa yang akan terjadi sesuai dengan harapanku. Bukankah itu keinginan dasar setiap realitas yang ada? Tak ada yang ingin semuanya diluar ekspektasi. Namun semua kembali pada sang waktu. Aku hanya berharap, aku akan menjumpainya sebagai pengacara, bukan sebagai jaksa. Semoga, pikirku. Semoga.

No comments:

Post a Comment