Suasana disekeliling kami terasa sangat
menenangkan. Matahari sudah mulai terbenam. Kami berdiri disebuah jembatan
layang yang menyebrangi jalan bebas hambatan. Kendaraan besar dan kecil
lalu-lalang dibawah kami. Meskipun begitu, disini tidak terasa ramai seperti
seharusnya. Seakan ada sebuah kubah tak kasat mata yang menaungi kami dari
segala bising dan hiruk-pikuk dunia.
“Tidakkah kau merasa bahwa dunia ini
sangat indah, kawan? Ditengah peliknya masalah dan realita yang menerpa, masih
ada setitik keindahan yang terasa. Seakan, melihat sebuah oase di tengah padang
gurun yang luas,” sahutku.
“Huh, fatamorgana, kau tahu? Tidak lebih
dari sekedar dimensi realitas yang terbentuk dari harapan indriawi dan
psikologis. Indah, menawan, mengundang hasrat tiap jiwa yang haus, namun tidak
nyata,” sahutnya skeptis. Ia memandang matahari senja di kejauhan sambil
bersandar pada balkon.
“Fatamorgana, ya? Aku lebih memercayai itu
sebagai oase yang memang ada ditengah padang gurun. Langka, namun realitasnya
sungguh terjadi,” senyumku sambil memandang kejauhan. Langit terlihat
kemerah-merahan.
Dia tertawa meremehkan. “Mengapa kamu bisa
begitu yakin?”
Aku menghela napas. “Entahlah. Bukankah
itu yang terjadi dalam kehidupan? Coba pikirkan. Kitalah sang terdakwa dalam
persidangan akan apa yang kita yakini. Sebuah persidangan kehidupan, yang
terjadi terus-menerus seiring jantung masih berdetak dalam raga. Dalam
persidangan itulah kita memperjuangkan apa yang sudah menjadi keyakinan kita.”
Ia memandangku sambil mengerutkan dahi. “Aku
tidak mengerti. Dengan begitu, aku menganggap bahwa yang menuntutmu adalah yang
berkeyakinan tidak sama denganmu, dan sebaliknya yang membelamu adalah yang
sepikir denganmu.”
Aku tertawa. “Tidak. Lebih dalam daripada
itu. Bukan siapa, tapi apa. Sebab sesungguhnya hanya satu yang berperan menjadi
dua, yaitu sang waktu.”
Aku terdiam sejenak sebelum melanjutkan,
“Bukankah begitu? Waktu secara misterius
selalu memiliki bukti atas apa yang sudah kita yakini. Selalu terdengar bahwa,
‘waktu yang akan membuktikan’. Dan bila begitu, sebagai sang terdakwa aku hanya
bisa menunggunya sambil menerka-nerka. Apa peran yang akan dia ambil dalam
persidangan kali ini? Apakah jaksa yang menyudutkanku, ataukah, pengacara yang
membelaku?
Terdengar dengusannya disampingku. “Bila
memang begitu, berarti kau sedang menempatkan diri sebagai pihak yang pasif.
Terdiam, menunggu sang waktu datang. Namun tak berdaya, bila sang waktu datang
membombardir apa yang sudah kau perjuangkan selama ini. Singkatnya, kau hanya
pasrah pada keadaan, bukan begitu? Kau hanya menunggu dan menunggu.”
“Memang benar,” kataku kemudian. “Kita tak
bisa lepas dari persidangan itu. Kita juga tak bisa mengganti posisi kita. Tapi
ada yang bisa kita lakukan selain berpangku tangan dan pasrah pada keadaan.
Dibalik kehampaan tanpa kepastian itu, masih ada secercah cahaya yang terang.
Dapat kukatakan itulah harapan. Itulah yang membantu kita untuk terus memaknai
setiap langkah perjalanan ini, sebelum mungkin nantinya kita akan menjumpai
persidangan pada persimpangan hidup. Ya, persidangan yang mempertanyakan atas
apa yang sudah kita jalani dan yakini. “
Dia memandangku lama sebelum akhirnya
bersuara, “Dapat kusimpulkan bahwa oase tersebut semata-mata berlandaskan pada
cahaya harapan.”
“Jauh melebihi segala fakta dan bukti yang
timbul selama ini, ya. Bukankah harapan yang membuat kita tetap hidup? Dengan
terus berharap bahwa kita akan melihat pagi satu kali lagi, kita sudah
melanjutkan hidup satu hari lagi, bukan?” kataku, sambil menatapnya.
“Dan aku bertaruh kau pasti tidak
memikirkan bagaimana bila seandainya waktu tidak berpihak kepadamu. Bila
seandainya bukti yang ada menentang segala keputusanmu. Bila seandainya, oase
tersebut benar-benar hanyalah fatamorgana yang teramat nyata.”
Aku menghela napas panjang. Lama
kupandangi hiruk-pikuk kendaraan yang lalu-lalang dibawahku. Akhirnya aku berkata,
“Bukankah itulah yang menjadikan kita hidup? Tanpa adanya hal seperti itu,
takkan ada harapan didunia ini. Kita memang mampu berharap melebihi ambang
batas kemustahilan, tapi hasil daripada itu bukanlah otoritas kita sepenuhnya. Bukankah
lebih indah dengan berpikir itu adalah oase yang benar-benar nyata, daripada
menyesali bahwa itu hanyalah sekedar fatamorgana belaka?”
Dia termenung dalam keheningan, begitupun
aku. Matahari senja telah sirna, berganti menjadi ribuan titik kecil dilangit
yang menghitam. Sudah malam rupanya, sang bulan sudah mengintip dikejauhan.
Lebih jauh dari semua itu, jauh dalam
lubuk hatiku, aku termenung. Tak dipungkiri, aku pun berharap bahwa apa yang
akan terjadi sesuai dengan harapanku. Bukankah itu keinginan dasar setiap
realitas yang ada? Tak ada yang ingin semuanya diluar ekspektasi. Namun semua
kembali pada sang waktu. Aku hanya berharap, aku akan menjumpainya sebagai
pengacara, bukan sebagai jaksa. Semoga, pikirku. Semoga.
No comments:
Post a Comment